29; mad?

60.1K 4.1K 365
                                    

"Kakaknya mau tambah pesanan lain?"

Suara seorang pelayan cafe membuyarkan lamunan jauh Anin, membuat tangannya yang daritadi betah mengaduk-aduk smoothies cokelatnya berhenti seketika. Anin menoleh ke arah pelayan cafe yang jelas terlihat lebih muda darinya itu, dia menggeleng pelan bersama senyumannya.

"Gak ada, makasih ya."

"Oke, Kak." si gadis pelayan cafe malah tersenyum malu-malu mendapat senyum manis Anin. Dia dengan cepat melangkah menuju teman-temannya yang lain, "Kakak yang lagi hamil itu cantik banget ih!"

"Gue juga salah fokus sama dia, dari jauh aja keliatan cakepnya—orangnya duduk sendirian aja tuh?" sahut temannya sesama rekan pelayan cafe.

Anin sendiri juga gak tahu kenapa dia malah mampir ke sebuah cafe ketimbang menyusul Odi dan Cilla di rumah sakit. Terhitung udah satu jam setengah ibu hamil itu terduduk melamun dengan segelas smoothies dan cheese pastry pesanannya di atas meja.

Ponselnya sengaja Anin matikan, Anin gak mau mendapat panggilan dari siapa pun termasuk Gerald sekarang. Dia gak peduli Gerald nanti bakal marah atau enggak, yang pasti saat ini pikirannya kacau balau, siapa yang sangka piknik yang harusnya terasa menyenangkan jadi berbanding terbalik seperti ini keadaannya.

Anin gak bisa mengerti kenapa Odi bersikap gak sopan padanya, padahal di awal gadis itu terlihat ceria selayaknya teman yang hangat. Mengajaknya berkenalan, memeluknya erat, membelikan makanan—kepala Anin pusing kalau mengingatnya.

Cerita Odi soal Gerald yang membantunya lusa kemarin dan tuduhan gak berdasar yang dia layangkan ke Anin menjadi kaset rusak yang berputar di kepalanya sekarang. Gara-gara kalimatnya, sampai sekarang Anin masih memastikan apa aja yang dia bawa hari ini ke piknik mereka.

Anin jadi ragu pada dirinya sendiri, memikirkan kemungkinan lain kalau nyatanya memang dia yang membuat Cilla celaka, memang dia yang mungkin tanpa sengaja membuat makanan yang sebenarnya gak bisa dikonsumsi Cilla sampai gadis blonde itu harus dilarikan ke rumah sakit sekarang.

Kepala Anin penuh oleh semua praduganya.

"Papa, Anin pusing banget..." ujungnya tangan Anin terulur memijat pelipisnya sendiri.

Cling! Bel cafe otomatis berbunyi saat ada pengunjung masuk.

"Mbak, saya mau vanilla latte satu, less ice ya."

Entah mengapa suara familiar itu membuat Anin cepat menoleh, posisi duduknya yang ada di tengah-tengah dan lumayan dekat dengan area pemesanan membuat Anin bisa mendengar suara laki-laki itu dengan jelas.

Namun sialnya tatapan mereka bertabrakan, Anin terperanjat kaget sendiri.

"Anin? Ngapain lo disini?"

"Oh... hai, Regan," sapa Anin seadanya.

Laki-laki itu menghampirinya, langsung ambil posisi duduk di hadapan Anin tanpa meminta ijin lebih dulu.

"Eh, gue duduk disini gapapa?"

Anin tersenyum tipis, "Boleh-boleh aja." sejujurnya Anin sedikit beringsut menjauh, menjaga jarak walau Regan di hadapannya gak melakukan apa pun selain membuka ponselnya sendiri.

Mereka berdua sama-sama diam, Anin memperhatikan Regan, sedang yang diperhatikan asik sendiri dengan benda petaknya. Sampai ketika pelayan cafe datang membawakan pesanan Regan, baru lah pemuda itu mengalihkan atensinya ke Anin.

"Gak sama Gerald, Nin?"

"Enggak," jawab Anin singkat, menyeruput minumannya pelan. Anin kira Regan akan lanjut mengeluarkan suara, ternyata laki-laki itu lebih banyak diam—Regan malah tiba-tiba mengeluarkan laptop dari tasnya.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang