Anin berkali-kali membasuh wajahnya dengan air keran mengalir, berulang kali juga kedua tangan mungilnya memukul kepalanya sendiri sampai terasa lumayan sakit. Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin, such a freaking slut.
She is.
"Orang gila! Lo ngapain sama Pak Bian, Anin bodoh!" rutuknya lantas menampar pipi kanannya sendiri, lalu berlanjut menjambak rambut panjangnya hingga teracak berantakan, "Gimana caranya gue ngehadepin dia besok-besok?" rengeknya frustasi.
Pagi tadi, Anin yang terbangun dikagetkan dengan penampakan punggung lebar Gerald di depan matanya. Pemuda yang biasanya Anin lihat berpakaian rapi tiba-tiba ada di hadapannya dalam keadaan shirtless, hanya berbekal celana boxer yang dia pakai.
Pikiran Anin langsung panik, semakin panik saat membuka selimut dan gak mendapati pakaiannya sama sekali. Dia polos. Di bawah selimut yang sama dengan Gerald. Ini hal gila yang gak pernah Anin bayangkan.
Masih mencoba menolak kenyataan dan berpikir positif, Anin dibuang jatuh ke lubang realita menyadari ada beberapa bercak kemerahan di tubuhnya, berlanjut satu hal yang segera dia pastikan tadi; bagian bawahnya terasa nyeri.
Sementara Gerald? Laki-laki itu santai memberi sarapan ke Anin. Rautnya seperti enggak menunjukkan ada yang salah sama apa yang mereka lakukan semalam.
Gerald malah bertanya, "Sakit, gak?"
Anin mengumpat kasar dalam hati, udah jelas Gerald pasti tipe laki-laki kaya yang suka menghabiskan malam bersama perempuan-perempuan malam, lihat gimana ekspresi tanpa dosa itu dia tunjukkan.
Mereka berdua sama-sama diam di dalam kamar, hanya menuruti instruksi satu sama lain, Anin dan Gerald yang udah selesai membereskan kekacauan pada diri mereka langsung check out untuk keluar dari sana.
Sebenarnya Anin gak mau diantar Gerald, tapi niat menolaknya sia-sia karena Gerald memaksa. Belum lagi bagian bawahnya yang masih terasa nyeri membuat Anin gak punya banyak pilihan selain menurut, membiarkan Gerald mengantarnya kembali ke Apartemen.
"Kamu tinggal disini?" tanya Gerald saat Anin bersiap turun dari mobilnya. Anin menatapnya datar, dalam hati berdecih karena tahu apa isi otak laki-laki itu.
Apartemen minimalis yang Anin tempati pasti gak bisa dibandingkan dengan rumah luas nan nyaman punya pemuda itu. Anin mengangguk pelan, "Iya, makasih tumpangannya, Pak."
"Anin bentar, saya—maksud saya, kita belum—"
"Gak usah dipikirin, Pak." Anin yang udah berdiri di samping mobil Gerald tersenyum tipis, "Anggep aja gak ada apa-apa semalam, saya malah mau minta tolong sama Pak Bian jangan bocorin apa yang kita lakuin semalam, ini demi kehormatan Pak Bian dan saya juga."
Gerald meneguk ludahnya kasar dijawab begitu, Anin menutup pintu mobil Gerald. Memberi lambaian pelan ke arahnya, "Makasih buat malamnya, Pak."
Kemudian sekarang Anin masih bengong terduduk di atas tempat tidurnya memikirkan ulang kejadian-kejadian barusan. Entah apa Tuhan sengaja mengatur jalan hidupnya seperti ini karena kebetulan sekali hari ini tanggal merah which is hari libur yang berarti semua orang gak perlu datang ke kantor.
Anin gak bisa membayangkan harus bersikap seperti apa menjalani hari di kantor setelah kejadian ini.
"Anin bodoh, bodoh, bodoh..." kalimat yang terus keluar dari mulutnya. Anin lalu merebahkan dirinya menatap langit-langit apartemen. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya penuh rasa frustasi.
Anin menggigit bibir bawahnya pelan, masalah utamanya adalah yang menghabiskan malam bersamanya semalam itu pimpinan tertinggi tempatnya mencari sumber uang. Gadis itu berdecak sebal, "ARRRGHHHHH BEGO BANGET! LAGIAN KENAPA LU MINUM SIH ANIN TOLOOLLL!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu seperti itu sampai d...