15; about her

92.2K 6.2K 199
                                        

Sejak kejadian hari itu di ruangan Anin, Gerald semakin terang-terangan menunjukkan hubungan mereka. Gak peduli di depan orang banyak, Gerald selalu berusaha mengajak Anin bicara kalau bertemu atau berpapasan di dalam kantor. Bahkan setiap makan siang Gerald akan ke ruangan Anin untuk sekedar melihat apa yang dimakan gadis itu hari ini.

Anin udah berulang kali memperingatkan Gerald untuk menjaga sikap, namun pemuda itu tetap ngeyel dan melakukan apa yang dia mau. Karena lelah melarangnya, akhirnya Anin membiarkannya. Toh, udah enggak ada gunanya—orang-orang kantor udah terlanjur membicarakan mereka setiap hari.

Akibatnya Anin hanya harus menulikan telinga, memasang muka tembok pura-pura enggak tahu kalau ada yang membicarakannya terang-terangan. Dalam hati Anin menguatkan dirinya sendiri, berpikir positif gak akan ada apa pun yang terjadi, semua ini bakal selesai setelah Anin keluar dari Candala.

Ini hari terakhirnya di Candala, semuanya selesai setelah hari ini.

Anin berdiri merapikan tatanan rambutnya di depan cermin, selesai memoleskan bedak tipis dan memberi sedikit warna kemerahan pada bibirnya, Anin merapikan kembali pouch make up-nya.

Gapapa Anin, selagi lo punya temen kayak Calista, Nadine, Hasya sama Farel. Semuanya baik-baik aja.

Pikiran Anin berkecamuk, dia seakan menyayangkan dirinya sendiri yang jadi seperti ini. Di luar tampangnya memang sok santai, tapi gak ada yang tahu isi pikiran Anin sebenarnya, jelas perkataan-perkataan tajam beberapa orang berhasil terngiang di otaknya.

Anin menghela nafas gusar, dia menutup retsleting pouch make up miliknya. Hendak berbalik badan dan melangkah masuk ke bilik toilet lebih dulu sebelum meninggalkan tempat itu, Anin perlu menuntaskan hajatnya.

Saat di dalam toilet, derap langkah terdengar menandakan ada orang lain masuk kesana. Anin sebenarnya gak peduli, dia mau keluar membuka pintu—tapi ucapan yang dikeluarkan orang-orang diluar toilet malah membuatnya mematung.

"Hari ini terakhir? Bagus deh, kita jadi gak perlu liat muka sok polosnya lagi."

"Tau ya, gue gak nyangka. Gue kira tuh anak polos gak banyak macem, taunya ngincer Bianaka juga."

Anin memegang erat gagang pintu bilik toilet tersebut, tanpa kedua orang itu menyebut siapa yang dimaksud, Anin juga paham mereka tengah membicarakan dirinya.

"Tebak-tebakan, dia ngasih apaan ke Bianaka sampe si Bianaka bisa ngejer dia banget kayak gitu?"

"Apa ya? Badannya kali?" lalu kedua orang itu terbahak.

Mata Anin memanas, Anin menarik nafasnya dalam kemudian memberanikan keluar bilik dengan tampang pura-pura gak tahu. Kemunculan Anin dari salah satu bilik toilet tentu mengejutkan dua orang itu, mereka sempat terdiam memandang Anin yang berjalan menuju pouch-nya di atas wastafel.

"Oh ada orangnya disini," sahut salah satunya menatap ke arah Anin.

Sedangkan temannya yang lain menyikut lengan yang bicara, "Elza, mulut lo," ujarnya memperingatkan.

Elza menoleh ke temannya, "Biarin lah dia tau, Sa—biar tau kalo dia diomongin orang kantor, kelakuannya enggak banget gini, ew."

Anin kenal sama keduanya, dua orang dari banyaknya jajaran jabatan atas. Anin seketika mengerti alasan dua orang ini membicarakannya sekarang. Mungkin marah karena perasaan kalah dari Anin?

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang