"Siapa yang mau nikah emang?"
Anin mengedipkan matanya lambat berulang kali, pandangannya terarah polos ke Gerald bersamaan dengan bibir gadis itu yang sedikit terbuka. Otaknya sempat dibuat berpikir dulu mendengar balasan Gerald, kedengarannya gak sesuai sama apa yang diharapkan Anin.
"Si-siapa ya?" ucapnya kikuk, Anin menggaruk ujung pelipisnya sambil membuat ekspresi meringis malu, kemudian gadis itu menunduk memandang lantai apartemen.
Gerald gak bisa menahan diri untuk enggak mengulum senyumnya, terlebih tingkah Anin malah semakin membuatnya gemas. Pemuda itu jadi menggigit bibir bawahnya sekilas, "Siapa, hm?" ulangnya sengaja, menggoda Anin sekali lagi gak masalah kan?
Langkah kaki Gerald maju, otomatis membuat Anin mendongak seraya memundurkan langkah kakinya hingga punggung perempuan tersebut menyentuh dinding di belakangnya. Terpojok oleh eksistensi Gerald di depan yang telah mengubah senyuman simpul itu menjadi seringaian tampan.
"Kalo gak mau yaudah gak usah," sahut Anin lantas mencebikkan bibirnya.
"Siapa bilang?!" Gerald tiba-tiba menaikkan nada bicaranya, Anin terkesiap menatapnya, "Gua gak bilang gitu."
"Tadi nanya siapa yang mau nikah??? Ngeledek banget!" cibir Anin.
Setelah berpikir sebentar, Anin baru menyadari Gerald tengah mencoba mengerjainya lagi sekarang.
Oh, dia gak akan terjebak ke lubang yang sama lagi.
"Kan gua nanya, Nin? Maksud lo nikahan siapa? Kapan nikahnya?" tutur Gerald, bersedekap dada di hadapan Anin. Kedua pandangan sepasang anak manusia itu bertabrakan satu sama lain.
"Ya—harusnya kamu mikir aja gak sih...?" cicit Anin super halus.
Gerald menaikkan satu alisnya, tangannya yang semula bersedekap beralih menangkup pipi Anin, memberi usapan lembut disana diiringi tatapan intens. Jantung Anin dibuat berdebar gak karuan kalau Gerald udah begini.
"Kamu maunya kapan?" Anin menahan nafas, niatnya menggoda Gerald malah jadi boomerang—laki-laki itu mengembalikan serangannya dengan baik. Di tambah satu tangan Gerald mulai ikut bermain, bertengger manis di pinggang Anin sekarang.
Secara reflek tangan Anin berpegang di lengan kekarnya, entah mengapa jarak keduanya perlahan menipis.
"Anindiya," panggil Gerald pelan, suara berat yang nyaris terdengar berisik. Kepalanya miring sengaja menatap lamat Anin, "Aku tanya kamu mau kapan nikahnya?"
Tangan Anin yang bertumpu pada salah satu lengan Gerald terasa mencengkram, Gerald hampir meloloskan tawa melihat wanita hamil di depannya ini kelihatan tegang karena ulahnya.
"Gerald..." desis Anin pelan, tangannya berusaha melepas pegangan pemuda itu di pinggangnya, "Ta-tadi katanya ma-mau pulang kan?"
"Jawab dulu."
"Jawab apa?" Anin pura-pura bodoh, padahal jelas dirinya yang memulai duluan.
"Berarti ini artinya mau kan?"
"Hah?"
Gerald berdecak gemas, telapak tangan besarnya masih betah mengusap pipi yang sedari tadi memerah malu. Kenapa Anindiya begitu cantik? Gerald gak bisa menghitung berapa kali dia memuji perempuan ini dalam batin—mengagumi pahatan indah yang Tuhan bentuk untuk rupa wajahnya.
"Mau nikah kan?" Gerald menarik dirinya dari Anin, mundur satu langkah menjauh, membiarkan Anin menghela nafas lega setelah daritadi gadis itu menahannya.
Anin mengulum bibirnya, gak langsung menjawab pertanyaan langsung yang cukup jelas dilontarkan Gerald. Perempuan hamil itu memilih lirik kanan lirik kiri, menghindari tatapan Gerald yang terpaku padanya walau Anin akui itu hal sia-sia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end/segera terbit] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu sepert...