Calista sama Hasya masih melongo kaget selesai mendengar cerita Anin. Dua perempuan itu masih mengerjapkan matanya mencerna kalimat per kalimat yang dijelaskan Anin satu menit lalu, merasa gak percaya dengan alasan yang membuat Anin bertingkah aneh belakangan ini.
Keesokan harinya setelah dari panti, Anin setuju diantar pulang Gerald ke apartemennya. Kemudian pagi ini Anin masuk kembali ke kantor, menuruti kemauan Gerald yang berjanji akan menyetujui surat pengunduran dirinya asal Anin masuk dulu lagi, kehadirannya kontan jadi kehebohan topik paling panas satu gedung.
Anin pasang muka tembok aja, menulikan telinga dari bisik-bisik orang yang membicarakannya. Anin cukup sadar diri kelakuannya jelas menimbulkan kontroversi di Candala.
"Kok Pak Dewa gak langsung phk dia ya? Udah ngelanggar peraturan kantor banget si Anin."
Semua orang pasti berpikir begitu, Anin seenak jidat menghilang nyaris seminggu terus tiba-tiba masuk lagi seakan gak ada masalah apa pun, gak ada tanggung jawabnya sama sekali.
Dan sekarang Calista sama Hasya ada di ruangannya menuntut penjelasan, melabrak Anin yang ketahuan berpelukan dengan Gerald minggu lalu. Mereka mau marah, udah kecewa karena rumor soal Anin perempuan gampangan merebak luas, beruntung ada Nadine yang setia memikirkan segala hal dengan kepala dingin. Menyarankan dua temannya yang lain untuk mendengar alasan Anin lebih dulu.
Anin gak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan.
"Se-serius, Nin?"
"Jadi sekarang lo lagi hamil?!" Calista reflek menoleh ke perut datar Anin, "Anaknya Pak Bian?"
"Jangan keras-keras suaranya please..." Anin memohon, melihat ke kanan dan ke kiri berharap gak ada yang mendengar percakapan mereka.
Hasya mengusap wajahnya gusar, "Sumpah—eh gila banget, gue gak pernah kepikiran lo ada di posisi ini Nin, udah gila anjir lo sadar gak Pak Bian tuh siapa????"
Anin mengangguk, "Ma-makanya gue—" gadis itu menghentikan kalimatnya, berakhir menghela nafas kasar.
"Jangan lo marahin, Sya!" Calista mendelik ke Hasya, "Anin butuh dukungan sekarang, kalo lo cuma mau menghakimi dia kayak yang lain mending keluar deh!"
"Eh maaf, maaf—gue gak bermaksud Nin, cuma gue kaget banget ini," cicit Hasya sedikit meringis.
"Berarti kejadiannya waktu malam lo pergi sama Farel itu, Nin?" Calista bertanya hati-hati, dijawab anggukan kecil sama Anin.
"Kok bisa?"
Anin mengedikkan bahu, "Gue gak tau, gak sadar malam itu, pas pagi tau-tau gue udah sekamar sama dia."
"Anjir...." Hasya geleng-geleng kepala, "Berarti Pak Bian gak gay atau impoten dong?"
"Ya kagak lah anjir! Kalo impoten mana nafsu dia liat Anin!"
"Artinya dia emang cuma ngehindarin cewek doang selama ini," ucap Hasya menerka lalu bertepuk tangan menatap Anin, "Hebat lu Nin bisa buat pertahanan si Bapak runtuh, lo apain sih?"
"Haduhhh dah! Oot mulu nih orang," semprot Calista, Hasya hanya menyunggingkan senyumnya di omelin Calista.
"Terus gimana ini lanjutannya? Lo mau nikah sama Pak Bian?"
Anin menggeleng pelan, "Gue gak tau, Cal."
"Diajak nikah gak sama dia?" selidik Hasya.
"Iya diajak tapi belom gue jawab."
"Loh, kenapa gitu?!" Hasya sama Calista kompak bersuara.
Anin menatap keduanya malas, "Terlalu banyak pertimbangan, gue gak bisa asal iyain, takut yang terjadi gak sesuai harapan gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end/segera terbit] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu sepert...