"Saya kan udah minum pil pencegahnya kenapa masih bisa tetep hamil, Dok?" Anin berkata lumayan lantang, emosinya ada di ujung tanduk mendapati hasil valid dari Dokter kandungan kalau memang ada nyawa lain di dalam perutnya.
Dokter laki-laki berumur kisaran tiga puluh lima ke atas itu menatap Anin tenang, "Saya tanya sama kamu, kamu minum obatnya berapa jam setelah berhubungan?"
Anin sontak terdiam, wajah tegangnya mulai melunak pelan. Gadis itu mengulum bibirnya menyembunyikan kekalutan. Anin sepertinya melakukan hal yang fatal, dia baru minum pil itu saat ingat—yang mana Anin baru berinisiatif meminumnya satu minggu setelah kejadian.
"Satu minggu setelah berhubungan, Dok," cicit Anin, takut menjawab, sadar diri dia yang salah.
Dokter itu mengulas senyum tipis, "Gak ada efek kalo kamu minum satu minggu setelahnya, jadi gak usah heran kenapa bisa hamil sekarang."
Di dalam taksi perjalanan pulang Anin melamun ke arah luar jendela, tangannya betah bermain di ujung rambut membuat ikalan acak dari jarinya, sedang berpikir keras apa yang sebaiknya dia lakukan setelah ini.
Umurnya cukup matang, dua puluh lima tahun. Anin bukan anak-anak labil yang gak bisa membedakan hal salah dan yang benar, menggugurkan kandungan jelas adalah hal yang salah, penuh resiko dan dosa yang mungkin gak bisa diampuni.
Tapi kalau enggak digugurkan, Anin harus gimana?
Hidup Anin makin kacau, jam tidurnya makin berantakan karena efek hormon hamilnya yang membuat kesusahan mencapai alam mimpi. Di tambah morning sickness yang lumayan menyiksa, Anin bahkan sampai gemetar kalau udah memuntahkan isi perutnya.
Perutnya terasa diaduk-aduk kalau habis menyantap suatu makanan, penciumannya juga menjadi lebih sensitif, kepalanya pusing dan mengharuskan Anin ijin gak masuk tiga hari ke kantor.
Calista, Hasya, Nadine dan Farel datang menjenguk Anin ke apartemennya, keempat orang terdekat Anin itu gak ada yang menaruh curiga apapun. Menganggap gejala yang dialami Anin adalah akibat dari telat makan, karena dulu Anin pernah mengalami muntah-muntah hebat juga seperti sekarang ini.
Di saat bersama rekannya juga Anin sebisa mungkin menahan diri buat gak berkomentar semisal hidungnya mulai mencium aroma aneh, sengaja biar gak ada yang menaruh curiga padanya. Walau efek dari kelakuannya bisa membuat Anin pusing luar biasa.
Pagi ini Anin kembali masuk ke kantor, perasaannya udah lebih baik dari beberapa hari lalu. Hanya penampilan gadis itu gak bisa bohong, kantung mata yang semakin terlihat, menandakan kurangnya istirahat yang cukup.
Gimana mau istirahat kalau Anin dibuat mual terus?!
"Bu Anin, ini revisi dari tim Chika, boleh diliat dulu sebelum di kasih ke atas," kata salah satu anak tim Anin, menatap kasihan atasan mereka satu itu, "Bu Anin udah baikan?"
"Ya, gak sepenuhnya tapi better than before." Anin memberi senyum manis, berusaha terlihat baik-baik aja, "Thanks udah nanyain."
Niat Anin hari ini mengerjakan semua tugasnya yang terbengkalai ditinggalkan tiga hari gak masuk kemarin. Selesai mengerjakan satu persatu, Anin membawa dokumen tim-nya ke lantai atas, menaiki lift menuju lantai dimana ruang atasannya terletak.
Gadis itu nyaris mengumpat, di keseluruhan luas gedung perkantoran Candala ini kenapa dirinya jadi sering bertemu dengan Gerald? Padahal sebelum malam itu Anin yakin dia jarang—atau bisa dibilang gak pernah bertemu Gerald kalau gak ada kepentingan di dalam ruang rapat.
![](https://img.wattpad.com/cover/363566328-288-k642662.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu seperti itu sampai d...