"Halo? Iya ini gua udah sampe depan rumah kok," ucap remaja tampan itu sambil menarik kunci mobil dari tempatnya, bergegas keluar tanpa memutuskan sambungan dari ponsel yang menempel di telinganya, "Lo gak usah panik gitu, santai aja gapapa."
Dengan cekatan kaki-kakinya mengambil langkah cepat memasuki pekarangan rumah, berlari melewati teras dan membuka kunci rumah menggunakan kunci yang dipegangnya sedari tadi. Helaan nafas panjang terdengar begitu lega, "Udah masuk rumah, Mama sama Papa gua belom pulang."
Kedua matanya menelisik ke sekitar rumah yang masih gelap, tubuh tegapnya dia sandarkan pada daun pintu yang baru tertutup.
"Aman, telfonnya gua tutup ya? Lo istirahat sana, jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, cuci muka, gosok gigi sebelum tidur, bye." Pip! Ponselnya langsung dia masukkan ke dalam saku, raganya mulai dia tegakkan kembali, di pikirannya harus segera masuk ke dalam kamar dan istirahat.
Tapi belum dua langkah kakinya bergerak, rumah yang gelap gulita itu mendadak terang. Nyala lampu dimana-mana membuatnya terperanjat kaget, tubuh si pemuda mendadak kaku tak bergerak di tempat.
"Dari mana kamu, Elanoah?"
Noah mengerjapkan mata, suara lembut yang selalu didengarnya seumur hidup terdengar menyapa pendengaran. Noah langsung mencari sumber suara, menemukan sosok Ibu-nya berdiri di dekat anak tangga sambil bersedekap.
Disusul si Ayah yang sepertinya jadi pelaku yang menyalakan lampu rumah.
"Hai, Mama sayang...." ucap Noah memberikan senyum lebarnya, berlanjut ekspresi pura-pura kaget, "Loh, kalian udah pulang? Mama sama Papa gak kasih kabar tiba-tiba udah sampe rumah aja."
Anin menatap datar si putra sulung yang asik cengar-cengir di depan sana, mata wanita itu salah fokus pada tangan kanan Noah yang ke belakang badannya—tengah menyembunyikan sesuatu disana.
"Noel udah tidur, Ma?" Noah berusaha mengalihkan topik menanyakan adiknya walau dia sendiri tahu itu akan sia-sia, karena sudah pasti Ayah dan Ibunya siap dengan seribu pertanyaan mengintogerasi.
"Ini jam berapa, Noah?" suara Gerald kemudian terdengar, matanya ikut mengarah pada tangan Noah yang diposisikan anaknya itu ke belakang badannya, "Siapa yang kasih ijin bawa mobil sendiri?"
Gerald menghampiri, menjulurkan tangannya meminta Noah memberikan apa yang ada di tangan kanannya, "Sini kuncinya, gak usah disembunyi-sembunyiin."
Noah dengan gerakan lambat, akhirnya menyerahkan kunci mobil di tangannya ke sang Ayah.
"Siapa yang kasih ijin bawa mobil?"
Noah diam, menatap ke arah lain.
"Di bawah umur, bawa mobil keluar malem-malem, hebat banget anak ini," dumel Gerald geleng-geleng kepala menatap kunci mobil di tangannya, "Coba jawab siapa yang kasih ijin kamu bawa? Kunci mobilnya dapet darimana?"
Noah gak menjawab, pandangannya mulai menunduk menatap ubin marmer di bawah kakinya.
"Elanoah Candala." Gerald menaikkan sedikit nada suaranya, "Papa nanya sama kamu."
Anin menghela nafas, Noah gak akan menjawab meski Gerald ujungnya membentak sekali pun. Tipikal kalau bersalah gak akan membela diri, diam seribu bahasa itulah tabiat anak pertama mereka.
Satu-satunya cara hanya—
"Jawab Papa, kamu dapet ijin dari siapa? Dapet kunci mobil dari mana," ujar Anin bertanya pelan, ikut menghampiri Noah di depan sana.
Noah menggaruk tengkuknya, "Gak ada yang kasih ijin, aku nyolong kuncinya diem-diem dari Mbak Astri."
Gerald dan Anin sama-sama saling tatap lalu serentak membuang nafas kasar. Anin mengusap wajahnya gusar, berkacak pinggang di hadapan Noah sekarang.
"Gak denger larangan Mama sama Papa?"
Noah diam lagi, dia tahu dia yang salah disini.
"Gak ada bawa mobil sendiri sebelum delapan belas tahun," kata Anin mengulangi sekaligus memperingatkan, mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Noah, berakhir menyentuh ujung hidung bangir anaknya, "Mama sama Papa udah ngomong berapa kali?"
"Maaf, Ma," balas Noah langsung meminta maaf, "Noah salah, maaf."
"Udah tau salah, masih diulangi lagi, ini kali kedua kamu kayak gini," sahut Gerald berdecak pelan, "Abis darimana kamu malem-malem? Merasa bebas ya gak ada orang tua di rumah?"
Noah menggeleng, "Bukan gitu, Pa—aku abis dari rumah temen, di-dia tadi ada minta tolong penting banget jadi aku samperin...." kalimat Noah memelan pada ujungnya, "Noah minta maaf."
Dalam hati pemuda itu merutuki nasib sialnya malam ini. Setahu Noah, kedua orang tua dan adiknya itu baru pulang besok, entah kenapa jadwal pulangnya bisa maju sampai malam ini, satu hal lagi yang Noah pikirkan; dia bahkan gak melihat mobil Ayahnya di garasi tadi. Gimana bisa?
"Temen kamu cewek atau cowok?" tanya Anin membuat Noah menoleh kaget padanya, Anin mengernyitkan dahi melihat respon si anak.
"Cewek," cicit Noah menjawab sedikit malu.
Jawaban yang membuat Gerald dan Anin saling toleh lagi.
Anin mendekat, mengusap bahu Noah, "Kamu gak aneh-aneh kan?"
Noah menggeleng, "Enggak, Ma. Noah cuma jemput temen terus anterin dia pulang ke rumah, abis itu langsung pulang, udah itu aja."
"Gak bohong?"
"Serius, Papa."
Ruang tengah itu lengang oleh suasana di antara mereka bertiga.
Anin menghela nafas pelan, "Yaudah sekarang kamu masuk kamar, bersih-bersih diri terus tidur, besok pas sarapan ceritain ke Mama. Ini udah malem." Noah lekas mengangguk mantap mendengar titah Anin, bersorak dalam hati.
"Iya, Mama." Noah memeluk Anin, mengecup sekilas pipi kanan Ibunya, "Selamat malam, Mama." Dia berniat melangkah pergi naik ke lantai atas, sebelum suara Gerald sempat-sempatnya menginterupsi.
"Ini peringatan terakhir, Papa gak mau kamu ulangi lagi, Noah," ujar Gerald menatap serius Noah dari tempatnya berdiri, "Besok ikut Papa ke Candala, ikut Papa meeting sama yang lain."
"Hah Papa kok gi—"
"Gak mau denger penolakan," sela Gerald memainkan kunci mobil di tangannya, "Hukuman buat kamu udah bandel, langgar peraturan orang tua."
Ekspresi Noah suram, cepat-cepat dia menoleh ke Anin meminta pembelaan, namun kali ini sepertinya dia sendirian.
Anin mengedikkan bahunya, "Mama setuju, hukuman buat kamu." Nada bicaranya terdengar gak peduli.
Noah mendengus sebal, tanpa berkata apa pun lagi, dia berbalik badan kembali ke tujuan utama menaiki anak tangga menuju kamarnya. Meninggalkan kedua orang tuanya ada di lantai bawah.
Setelah sosok Noah menghilang dari pandangan mereka, Gerald terkekeh geli lantas menoleh ke Anin yang udah memijit pelipisnya pelan.
"Santai aja kali, muka kamu kenapa panik gitu?"
"Yang dianter cewek, Ge," ucap Anin kemudian menggigit kuku jarinya, "Anakku udah gede astaga..."
•••
a/n: hi sayangkuuuu, chapter ini chapter terakhir yang update atau penutup resmi dari right one, setelah ini ga ada update apa pun lagi disini hehe
sekali lagi aku mau ngucapin makasih ya buat semuanya yang udah ngikutin gerald dan anin dari awal sampe ending atau pun pembaca baru yang maraton dari part satu—terima kasih untuk kalian semua udah suka sama cerita yang masih banyak kurangnya ini, love u so much guys🥹💗
udah ya, see u next works cintaaaa <33

KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end/segera terbit] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu sepert...