"Gak bisa gitu, Ta."
"Mas Arkan ini apa-apaan deh?! Kaisar itu bagus namanya, kenapa pilih nama jelek kayak gitu."
Pertama kalinya sejak Anin jadi bagian anggota keluarga Candala, Tita berdebat sengit dengan suaminya Arkan di hadapannya secara langsung. Lima belas menit berlalu keduanya saling adu pendapat dan masih gak ada tanda-tanda akan berhenti.
Kepala Anin daritadi menoleh ke kanan dan ke kiri menyesuaikan siapa yang sedang bicara, dua orang itu sama-sama kekeh dengan pendapat mereka sendiri, gak ada yang mau mengalah sama sekali. Satu hal yang membuat Anin pusing adalah permasalahannya, Tita dan Arkan berdebat soal nama bayinya!
"Kaleel namanya lebih bagus, aku udah cari referensi sama temen kemarin, artinya juga baik—"
"Namanya udah ada Candala atuh, Mas!" sela Tita menghentikan kalimat Arkan, "Cukup itu jatah dari Mas Arkan, biar namanya dikasih Kaisar aja."
"Candala itu keharusan, Tita," balas Arkan masih gak mau mengalah, "Dia anak pertama Gerald, cucu laki-laki pertama kita, jelas lah nama Candala harus disematkan di namanya!"
"Iya paham, tapi kan itu nama keluarga Mas, jadi cukup dong sisanya biar nama dari aku!"
"Gak bisa, walau Candala nama keluarga tetep aja dia gak bakal dipanggil pake nama itu, nama belakang gak dianggep di kehidupan sehari-hari, Ta."
"Ih Mas! Kaleel itu jelek! Aku juga udah banyak cerita dan tukar pendapat sama Yuna waktu arisan kemarin, nama Kaisar udah paling top markotop buat dijadiin nama anaknya Gerald!"
Anin memijat pelipisnya pelan, kebetulan sekali posisi duduknya sekarang ada di sofa—sementara kedua mertuanya itu berdiri di depannya saling keras satu sama lain. Ini anaknya dengan Gerald, tapi kenapa malah kedua mertuanya yang ribut berdebat. Pikir Anin.
Wanita itu mengelus lembut perut buncitnya, kehamilannya udah masuk trimester ketiga, mungkin tinggal menunggu beberapa minggu lagi untuk mereka bertemu si kecil, karena itu makin banyak yang perlu diurus, segala keperluan bayi, juga persiapan persalinan dan lainnya, termasuk nama anak mereka.
Rasa dingin tiba-tiba menyentuh pipi kanan Anin, dia menoleh mendapati segelas strawberry milkshake yang dingin sengaja di sentuhkan Shanum pada pipinya, Anin tersenyum menatap kakak iparnya itu.
"Makasih, Kak," ucap Anin mengambil gelasnya dari Shanum.
Shanum mengangguk kecil, kemudian kepalanya menoleh ke arah kedua orang tuanya yang masih sibuk sendiri. Shanum geleng-geleng kepala lantas berkacak pinggang memperhatikan keduanya.
"Mami, Papi, stop—kalo kalian bahas terus gak akan ada abisnya," sahut Shanum, menghentikan adu pendapat Ayah dan Ibunya, membuat Tita dan Arkan menoleh ke arahnya.
Kaki jenjangnya berjalan memutari sofa, berakhir ikut duduk di sebelah Anin yang tengah menyeruput milkshake-nya.
"Kasih aja pilihan nama kalian, terus suruh Gerald sama Anin nentuinbya, gitu aja kenapa diributin sih ya ampun!" omel Shanum bersedekap dada, "Ini anaknya Gerald sama Anin ya, bukan anak kalian berdua."
"Tapi anak Gerald kan cucu Mami juga," ujar Tita.
"Cucu Papi juga!"
"Iya tapi kan tetep itu anaknya Gerald sama Anin, mereka yang lebih berhak nentuin nama anak mereka!" geram Shanum gak habis pikir sama kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu seperti itu sampai d...