"Lah, kan emang faktanya begitu? Udah rahasia umum kali si Bapak impoten."
"Tapi menurut gue dia gay deh, Cal."
Anin yang ada di antara dua manusia sibuk bergosip itu hanya bisa mengaduk-aduk jus alpukat pesanannya tanpa minat. Jam istirahat masih berlangsung, menimbulkan keramaian membludak para karyawan di bagian kantin tenggara.
Calista—gadis berperawakan rambut panjang sebahu itu melotot mendengar penuturan Hasya, "Lu sembarangan banget kalo ngomong!" gertaknya memukul bibir Hasya pelan.
Hasya mengaduh pelan, balik mempelototi Calista yang seenak jidat memukul bibirnya barusan, "Lo perhatiin aja Cal! Tiap siang makan bareng temennya terus, siapa sih namanya lupa gue? Naren apa siapa itu yang ganteng?"
Sementara Anin yang duduk di tengah-tengah mereka semakin menghela nafas malas. Topik pembahasan tentang President Directur perusahaan mereka seperti gak ada habisnya untuk dibicarakan, minimal dua hari sekali telinga Anin mendengar teman-temannya membicarakan pemuda tampan yang merupakan atasan mereka sendiri itu.
"Mereka sahabatan tau! Sembarangan aja lu," ujar Calista memberi pembelaan logisnya.
Hasya menggeleng, "No, no, no, otak gue gak bisa diajak kompromi, sahabatan sih sahabatan Cal tapi lo gak liat mereka kemana-mana berdua terus?!"
"Makanya lo jangan kebanyakan nonton film homo!"
"Bukan gitu, ini radar gue lagi bekerja."
Anin berdecak, mendorong jauh piring makannya membuat kedua manusia di sebelah kanan dan kirinya tersebut berhenti berdebat bodoh.
"Lo berpikir gitu juga gak, Nin?" sahut Hasya dengan bodohnya, gak mempedulikan raut wajah Anin yang kelihatan enggak dalam mood yang baik.
"Apa?"
"Buset jutek betul!" Calista meraih gelas jus alpukat Anin, menyodorkan itu ke pemiliknya, "Ini minum dulu, sayang."
Anin menepisnya pelan, "Gak mood, Cal. Singkirin."
"Lo kenapa dah?" Hasya terkikik geli, "Gak biasanya tuh muka sepet banget."
"Hasya, cuma ada dua kemungkinan penyebab Anin mukanya jelek begini," kata Calista menaruh kembali gelas jus Anin, "Yang pertama adalah dia lagi red days, lalu yang kedua—"
Hasya menjentikkan jari, "Ada meeting sama petinggi perusahaan."
"Seratus!" Calista tertawa geli.
Anin geleng-geleng kepala lalu mengambil ponselnya, dua puluh menit lagi sebelum meeting dimulai. Udah masuk waktunya untuk Anin beranjak dari duduknya dan bersiap di ruang meeting bersama ketua divisi yang lain.
"Mulai jam berapa?" nada bicara Calista normal, bukan dalam konteks bercandaan lagi.
"Jam satu, bentar lagi gue cabut yak," jawab Anin.
"Boleh aja, by the way itu masih bahas proyek yang bulan kemarin?"
Gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu mengangguk mantap, "Iya, ini meeting terakhir. Doain lancar ya? Lusa besok udah mulai eksekusi proyeknya, doain gue gak kena revisi atau semprotan dari orang atas."
"Panteeessss muka lo datar-datar panik." Hasya menepuk bahu Anin pelan, "Gue yakin lo bisa, ini Anindiya Dahayu yang kerjaannya gak akan buat kecewa!"
"Hiperbola." Anin berdecih.
Calista tertawa, "Gue doain lancar jaya biar bonusan lo bisa buat gue akhir bulan."
"Dih enak aja!" deliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end/segera terbit] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu sepert...