"Menurut lo pake sosis apa bakso?" Anin menunjukkan satu bungkus sosis dan bakso di masing-masing tangannya ke kamera ponsel, menunggu respon jawaban dari si lawan bicara.
"Apa ya..." gumam Calista yang terlihat sibuk ke arah layar monitornya sebelum menoleh ke Anin di panggilan video call mereka, "Sosis, Nin. Kalo lo tambahin keju nanti tambah enak, bakso kurang cocok, kurang mantul kata gue."
"Okaaayy!" sosok Anin hilang dari radar kamera Calista, gak lama, karena Anin balik lagi membawa talenan dan beberapa bahan yang dia butuh untuk makan siang hari ini. Ponselnya Anin taruh bersandar di sebuah gelas, sengaja diarahkan ke dirinya.
Hampir dua minggu tinggal di rumah barunya bersama Gerald, Anin mulai terbiasa sama suasananya. Bosan sih udah pasti, Anin mengakalinya dengan sebisa mungkin mencari kegiatan positif mengisi waktu luang. Orang seperti Anin yang biasa hidup hanya diisi kerja sepanjang hari, tentu merasa aneh kalau sekarang jadi dituntut diam di rumah tanpa melakukan hal-hal lain.
Maka kegiatan yang menjadi pengisi waktu luang Anin beberapa hari belakangan ini memasak, mencoba banyak resep-resep baru yang dia lihat di sosial media, melakukan eksperimen di dapur besarnya seorang diri.
Kebetulan aja hari ini Calista gak terlalu sibuk, bisa dihubungi Anin di jam istirahat kantor yang hampir tiba.
"Lo kenapa deh senyum-senyum gitu?" Anin bertanya penasaran, merasa aneh melihat Calista tersenyum memandanginya di layar ponsel.
Calista menggeleng pelan, "Gak ada, cuma gue ngerasa gak nyangka aja sama lo, Nin."
Anin tertawa hambar, paham arah bahasan Calista mau kemana, "Gue aja gak nyangka, Cal—beberapa bulan lalu gue masih jajan sama lo, sama Hasya, sama Nadine," kata Anin pelan, "Terus sekarang... ya gitu deh."
"Lebih ke enggak nyangka lo jadi istrinya Pak Bian sih, Nin." Calista bertopang dagu memperhatikan Anin dari layar ponselnya di seberang sana, "Liat, perut lo udah mulai keliatan gede, lucu banget—eh lo potong rambut ya? Gue baru sadar."
"Kenapa?" Anin menghentikan aktifitas memotong bawang dan sosisnya, "Keliatan aneh ya? Gue kayaknya motong kependekan, Cal."
"Enggak kok, segitu gak kependekan, tambah cantik lo Nin asli!" puji Calista langsung, "Apa efek hamil juga ya? Aura lo menguar banget dah nembus layar hape gue."
Anin merotasikan mata dengarnya, "Berlebihan tapi thanks pujiannya, gue potong rambut karena mendadak ngerasa risih aja, jadi agak males semenjak hamil, gue takut rambut panjang gak keurus."
"Paham, paham, sepupu gue juga kemaren waktu hamil mendadak potong rambut pendek, padahal seumur hidup gue kenal dia mana pernah mau potong rambut pendek, tiba-tiba pas hamil rambut pendek."
"Gak bisa dijelasin lah, Cal." Anin menghela nafas pelan, "Ribet banget hamil, mood gue bisa berubah sepersekian detik doang gara-gara dia."
Calista terkikik geli mendengar gerutuan Anin, "Nikmatin aja, laki lu Bianaka Geraldi juga Nin, sejahtera lahir batin lu mah! Tinggal gue sama Hasya yang masih berusaha nyari bungsu kaya raya itu."
"Kalo kantor ada acara makan-makan lo usahain dateng, siapa tau nemu," ujar Anin sedikit menyindir dirinya sendiri, Calista tergelak karenanya.
"Gelap banget jokes lu, Mbak!" Calista geleng-geleng kepala, "Bener-bener gak ada yang tau takdir ke depan ya, orang-orang kantor langsung pada ngomongin lu Nin waktu tau kabar, kompak gak nyangka semua sih kalo Pak Bian end game sama karyawan sendiri setelah banyak drama di Candala."
Anin gak menyahuti perkataan Calista, dia menyingkirkan bahan-bahan yang udah dipotongnya ke piring, memilih mengambil panci kecil untuk diisi air, Anin kemudian mengambil spaghetti dari dalam lemari penyimpanan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end/segera terbit] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu sepert...