39; mother's love

74.1K 5K 425
                                        

Lima menit Anin memandangi ponsel di tangannya, menatap datar roomchat antara dirinya dan Gerald disana. Anin sedikit salut karena suaminya itu masih setia mengirimi pesan setiap waktu meski Anin gak pernah membalas.

Anin juga senantiasa membaca chat yang masuk dari Gerald—sengaja mematikan recent read biar Gerald gak tahu dia udah baca itu atau belum—padahal setiap Gerald mengiriminya kabar, Anin langsung membacanya.

Mungkin yang dikatakan Bintang ada benarnya, mereka berdua sedang sama-sama jatuh untuk satu sama lain.

Perlahan Anin bangkit dari ranjangnya seusai mengumpulkan seluruh kesadaran, Anin melepas hoodie Gerald yang dia pakai tidur semalaman, meletakkan itu ke dalam keranjang kotor lalu pergi menuruni anak tangga.

Seperti pagi-pagi biasa yang dia jalani belakangan ini, Anin memilih mandi lebih dulu ketimbang sarapan. Membersihkan tubuhnya, memakai pakaian yang nyaman juga wewangian dengan harum yang menenangkan.

Setelahnya baru Anin pergi ke dapur menyiapkan sarapan.

Ini Selasa pagi, Anin gak punya rencana apa pun selain bermalas-malasan di apartemennya. Sambil membolak-balik telur mata sapi di atas penggorengan, Anin mulai berpikir apa yang harus dilakukannya untuk mengisi penuh hari ini.

Menonton film? Anin nyaris melakukannya tiap hari, kemarin juga dia baru aja pergi nonton bioskop sama Bintang.

Membaca novel? Sayang seribu sayang buku-buku koleksi Anin udah dibawa semua ke rumahnya dengan Gerald, karena pertengkaran malam itu terlalu tiba-tiba, Anin mana sempat membawa satu pun.

Main lego? Udah bosan. Anin mau minta beliin karakter yang baru tapi keburu lagi marahan sama Gerald.

Karena ujungnya dilanda kebingungan, Anin memilih menghabiskan sarapan paginya dulu. Lalu berbenah sedikit, mengambil cardigan beserta dompet miliknya. Anin berpikir gak ada yang salah kalau jalan-jalan di sekitar apartemen pagi ini.

Biasanya kalau pagi, di dekat apartemen Anin banyak orang-orang yang melakukan jogging atau sekedar jalan santai. Daripada Anin mendekam pusing di dalam kamarnya, mending dia duduk di bangku taman seraya memperhatikan orang-orang berlalu lalang.

Anin melirik jam di pergelangan tangan, delapan pagi—wajar orang-orang udah mulai sepi, tersisa hanya beberapa yang masih ada, didominasi oleh banyak anak kecil bersama Ibu mereka. Salah satunya familiar untuk Anin, kalau dia gak salah yang satu itu tetangga satu lantai apartemennya.

"Loh, Mbak Anin tumben disini?" oh ternyata benar, gak berselang lama orangnya menyapa Anin sendiri.

Ibu muda yang sibuk dengan baby stroller-nya itu menepi, ikut duduk di sebelah Anin, menempatkan posisi anaknya di depan mereka. Anin reflek berdecak gemas melihat makhluk mungil yang tengah tidur lelap dalam nyamannya stroller itu.

"Gak sama suami, Mbak?" lanjutnya bertanya, heran melihat Anin ada disini.

"Enggak, Ta," jawab Anin seadanya, sebetulnya Anin gak terlalu akrab sama tetangga-tetangga apartemennya sendiri. Rata-rata dari mereka cenderung punya urusan dunia masing-masing hingga jarang berinteraksi. Banyak yang sama seperti Anin, sibuk kerja balik-balik udah capek lanjut istirahat, alias jarang punya waktu buat bertemu apalagi bertegur sapa sama yang lain.

Termasuk Thalita—dihitung kasar pun mungkin Anin cuma pernah tiga kali bertegur sapa sama perempuan yang lebih muda dua tahun darinya itu, pertama kali ketemu di lift, basa-basi belaka yang berujung saling kenalan karena mereka berhenti di lantai yang sama.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang