23; one fine day

86.2K 5K 69
                                        

"Jadi, kamu sama Bintang tinggal di panti Ibu Nira dari sejak kamu SMP?"

Dengan mulut penuh, Anin mengangguk pelan sambil menatap Gerald. Tangan perempuan itu masih memegang mantap sebuah burger yang mereka beli sehabis melakukan survey ke beberapa rumah yang jadi pilihan untuk mereka tempati.

Setelah lelah mendatangi sekitar empat rumah dengan tipe-tipe yang berbeda, lama berdiskusi akhirnya Gerald dan Anin menjatuhkan pilihan ke rumah dua lantai bernuansa klasik, didominasi warna cokelat dan putih dikelilingi oleh tanaman yang cukup asri.

Selama berkunjung ke rumah-rumah itu, di penghujung Gerald selalu menanyakan pendapat Anin. Anin sendiri pusing karena menurutnya gak ada perbedaan yang jauh di antara rumah-rumah tersebut. Memang rumahnya gak sebesar rumah utama keluarga Candala, tapi untuk seorang Anin rumah-rumah itu masih kelewat bagus dan mewah untuk mereka.

Namanya juga Geraldi Candala, dalam kamus hidupnya yang biasa itu bisa jadi gak biasa untuk Anin, seharusnya Anin gak heran sih.

Akhirnya Anin memilih satu rumah yang ukurannya lebih kecil dari tiga rumah lainnya. Tolong dicatat! Hanya sedikit beda ukuran dari tiga lainnya! Bukan berarti rumah yang dipilih Gerald dan Anin sekarang berukuran minimalis atau simple. Anin memilihnya setelah banyak pertimbangan juga.

"Kamu kuliah dibiayain...?" tanya Gerald menggantung, sempat menoleh ke Anin sekilas, kemudian pandangannya fokus lagi ke jalanan.

"Bu Nira," jawab Anin seraya mengenang masa lalunya, "Bu Nira itu baik banget, Ge. Dia udah anggep aku sama Bintang anaknya sendiri disaat Mama kandung kita malah tega ngebuang anaknya."

Gerald terdiam mendengarkan cerita Anin, dia baru tahu fakta lebih jelas dari mulut perempuan itu langsung. Anin baru mau terbuka menceritakan cerita hidupnya setelah Gerald mencoba memancing topik ini beberapa waktu lalu.

Selesai mendengar lebih detail, Gerald sekarang jadi lebih paham apa yang membuat Anin mengalami trauma dan hilangnya rasa kepercayaan diri dalam sebuah hubungan keluarga. Gerald juga menyesalkan kenapa Ibu kandung dua bersaudara ini sampai tega hati meninggalkan mereka di umur-umur yang semestinya masih sangat membutuhkan peran orang tua.

Gerald paham kenapa Anin setakut itu hingga butuh waktu yang lumayan lama untuk menerima pinangan Gerald. Gerald paham, sangat paham perasaan istrinya itu. Anin takut dikecewakan lagi oleh sebuah ikatan.

Pada intinya, keluarga Gerald dan keluarga Anin adalah hal yang begitu bertolak belakang dalam segi apa pun.

"Habis ini mau kemana?" Gerald mengalihkan topik, menyudahi percakapan yang sepertinya berhasil menimbulkan senyum sedih di wajah Anin.

Anin selesai memakan potongan terakhir burgernya, buru-buru tangannya meremat kertas makanan yang sebelumnya menjadi alas burger itu, membuangnya sengaja ke dalam tas lebih dulu sampai nanti menemukan tempat buangnya.

"Kamu gak sibuk hari ini?" lantas balik bertanya, takut keinginannya menganggu Gerald dan kesibukan pemuda itu.

Gerald menggeleng, "Enggak, kamu mau kemana? Bilang aja."

"Mau jajan cilok."

"Hah?"

Anin mengangguk, "Ih kamu harus cobain makan cilok, Ge! Pake bumbu kacang enak banget, ayok kita cari!"

"Gak mau makan dimsum aja?"

"Gak mau, maunya cilok," jawab Anin cepat, "Kita jajan yang jualan pinggir jalan aja."

Gerald sejujurnya belum tahu apa rasa makanan yang disebut Anin, tapi melihat antusias istrinya membuat Gerald gak tega menolak. Dia memutar arah kendaraan mereka sesuai petunjuk Anin yang ingin membeli makanan bernama cilok itu.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang