Langit malam yang berbintang dengan suara hewan malam yang menghiasi gelapnya hutan. Di tengah itu, nampak cahaya dari api unggun yang di buat untuk menghangatkan beberapa orang yang mengelilinginya.
"Adakah yang bisa membantuku? Jangan hanya saling melotot seperti itu," ujar Hange, sambil memotong kentang untuk stew. Tatapan penuh ketegangan masih terus beradu di antara mereka- Paradis dan Marley, dua kubu yang selama ini saling menghunus pedang, kini duduk bersama di sekitar api unggun.
"Hah, makan bersama orang-orang yang terus saling membunuh?" Magath tertawa kecil, sarkas. "Menarik juga."
Tak ada yang membalasnya. Hanya terdengar rebusan yang mendidih dan suara kayu yang terbakar. Namun, Magath belum selesai. Ia menghela pelan sebelum melanjutkan dengan nada tajam.
"Kalau Eren Jaeger dibiarkan, kalian akan mendapatkan dunia yang kalian dambakan- sebuah paradise bagi para iblis pulau. Padahal kami hampir menghentikan kontak antara Eren dan Zeke. Andai saja kalian tidak menghalanginya..."
Hange berhenti sejenak, menatap stew yang mendidih sebelum menoleh ke arah Magath. "Seperti yang sudah aku jelaskan, Jenderal," ujarnya tenang. "Kami tidak menginginkan pembantaian. Jika iya, kami tidak akan repot-repot bersembunyi di hutan seperti ini hanya untuk memasak stew."
Magath menyipitkan matanya, lalu beralih menatap seseorang yang baru saja datang membawa seikat ranting di tangannya. "Lebih dari itu," lanjutnya, "aku ingin mendengar jawaban langsung dari kau, Caterine Jaeger."
Caterine menoleh dengan ekspresi datar, tatapannya dingin saat menatap pria di seberangnya. Ia berjalan mendekati api unggun, menjatuhkan ranting-ranting yang ia bawa ke atas kayu bakar. Api menyala lebih besar, menghangatkan udara di sekelilingnya, tapi hawa di antara mereka justru terasa semakin dingin.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Magath, suaranya penuh tuntutan. "Dari awal, kalian bertigalah yang merencanakan ini- menghancurkan Liberio, menyatukan kedua adikmu, hingga akhirnya menyebabkan Rumbling terjadi. Kau salah satu dalangnya. Jadi, kenapa sekarang kau berubah haluan?"
Caterine menghela napas, matanya memandang api yang berkobar seakan mencari jawaban di dalamnya. "Aku tidak akan berbohong," jawabnya, suaranya stabil. "Aku menginginkan ini- hari di mana semua musuh di luar sana lenyap, dan kami akhirnya bisa hidup dengan damai."
Hening sesaat sebelum ia melanjutkan, kali ini dengan nada lebih berat. "Tapi pembantaian ini... salah. Dan lebih dari itu, aku tidak bisa membiarkan kedua adikku menanggung beban sebesar ini. Membunuh setiap musuh di luar sana- rasa bersalah dan dosa yang akan mereka pikul- Aku tidak akan membiarkan mereka menanggungnya sendirian."
Magath mendengus. "Kau tiba-tiba merasa bertanggung jawab sebagai seorang kakak? Tak kusangka."
Caterine tidak menanggapinya. Ia hanya berbalik, berniat pergi kembali ke hutan.
"Kau tidak nyaman makan bersama musuh, huh?" Magath bersandar ke pohon, menyeringai. "Mencari ranting hanya alasanmu, bukan?"
Langkah Caterine terhenti, bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, suaranya terdengar rendah namun berbahaya. "Kalau aku diizinkan menetap di sini lima menit saja, kupastikan aku sudah membunuhnya."
Annie yang sejak tadi diam menundukkan kepala, meremas tangannya erat. Tatapan Caterine menusuknya seperti belati, seakan setiap helaan napasnya adalah pengingat dosa-dosanya di masa lalu. Reiner yang duduk tak jauh darinya ikut menegang, ekspresinya dipenuhi rasa bersalah.
"Aku sudah menahan ini dengan baik," lanjut Caterine, suaranya lebih pelan, tapi ketegangan di dalamnya tidak berkurang sedikit pun. "Jadi, jangan coba-coba mencobanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
-SAPPHIRE- (Shingeki No Kyojin X Reader)
Teen Fiction"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi" "Jadi jangan pernah menyesal dengan keputusan yang kau ambil" •◇◇◇• "Ada apa kalian kemari" "Kau masih wanita dingin seperti biasanya" "Tch" TYPO BERTEBARAN!
