"Maafkan aku, Nee-san… Aku tahu ini salah…"
"Seberapa jauh kau akan melangkah demi kebebasan, Cate?"
"Apakah kita bisa benar-benar bebas?"
"Menurutmu, kebebasan itu seperti apa?"
"Apa impianmu yang sebenarnya, Erwin?"
"Nee-san… Aku takut. Aku lelah…"
"Kau adalah harapan Eldia! Itulah tanggung jawabmu!"
"Ha- hah- ha- ergh-!"
Caterine terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya berkeringat dingin. Mimpi itu lagi. Tidak… itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah kenangan. Kenangan yang terus menghantuinya, seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup.
Sudah seminggu sejak ia memilih untuk mengambil cuti dari Pasukan Pengintai dan tinggal di tempat temannya, Lily. Tapi bahkan dengan jeda ini, ia tidak merasakan perkembangan apa pun. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa henti. Setiap pagi, ia terbangun tanpa tahu harus berbuat apa.
Caterine bangkit dari tempat tidurnya, menepis sisa-sisa kegelapan yang masih menggantung di pikirannya. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Luka memanjang di mata kanannya masih ada di sana- Untungnya, ia tidak sampai kehilangan penglihatannya, meskipun mata kanannya kini tak lagi sejelas dulu.
"Cate-san! Kau sudah bangun?!" pekik suara riang dari lantai bawah.
Caterine menutup matanya sejenak dan menghela napas sebelum melangkah ke bawah, mendapati Lily tengah merapikan bangku dan meja di tokonya.
"Ah, Cate-san! Kau mengagetkanku!" seru Lily kaget ketika menyadari Caterine sudah berdiri di belakangnya.
"Maaf," jawab Caterine singkat.
"A-ah, tidak apa-apa! Oh ya, kau mau sarapan? Aku ingin pergi ke luar untuk membeli makanan, sekalian untuk Jake dan Karin. Mereka akan pulang hari ini," ujar Lily bersemangat.
"Aku tak perlu. Kau pergi saja, biar aku yang mengurus toko," balas Caterine datar.
"Kalau begitu, aku pergi dulu! Aku titip kue di panggangan ya!" seru Lily sebelum melesat keluar.
Caterine menghela napas, lalu menatap sekeliling kedai teh milik Lily. Ia segera mulai merapikan kursi dan meja untuk bersiap menerima pelanggan. Begitu selesai, ia beralih ke dapur untuk menata kue-kue yang sudah disiapkan Lily sebelumnya. Ini adalah rutinitasnya selama tinggal di sini.
Lily tidak pernah keberatan dengan kehadirannya, bahkan sepertinya merasa terbantu. Dan bagi Caterine, kedai teh ini memberikan sedikit ketenangan yang tidak bisa ia dapatkan di rumahnya sendiri- rumah yang terasa terlalu hampa untuk ditinggali sendirian. Ada sesuatu yang nyaman di sini, mungkin karena aroma teh yang baru diseduh atau wangi manis dari kue yang baru keluar dari panggangan.
Siang semakin terik, tapi Lily belum juga kembali. Sementara itu, beberapa pelanggan sudah datang dan pergi.
"Silakan datang kembali," ujar Caterine dengan nada datarnya yang khas.
"Kakak itu suram…" gumam seorang anak kecil polos sambil menunjuknya.
"A-ah! Maafkan anak saya!" seru ibunya panik sebelum buru-buru menarik si anak pergi.
Caterine hanya menatap kepergian mereka sebelum menghela napas. Ia berbalik ke arah cermin yang tergantung di dinding, memperhatikan wajahnya sendiri. Apa yang salah dengan wajahnya? Selain luka di mata kanannya, ia tidak menemukan sesuatu yang aneh. Andaikan ia tahu... Bukan wajahnya yang membuatnya terlihat suram- melainkan ekspresi dan caranya berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
-SAPPHIRE- (Shingeki No Kyojin X Reader)
Fiksi Remaja"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi" "Jadi jangan pernah menyesal dengan keputusan yang kau ambil" •◇◇◇• "Ada apa kalian kemari" "Kau masih wanita dingin seperti biasanya" "Tch" TYPO BERTEBARAN!
