Prolog

36.1K 1K 13
                                    

Hujan turun dengan deras kala itu, guruh bersahutan. Suhu udara turun dengan drastis, angin dan air menghasilkan hawa dingin yang mencekut tulang.

Terlihat seorang wanita paruh baya berdiri tanpa jemu di depan sebuah pagar besi rumah mewah. Ia mengenakan baju lusuh sambil membawa bungkusan kresek hitam. Hujan dan hawa dingin tak menyurutkan keinginannya untuk menemui sang putri. Harap harap cemas ia meremas bungkusan plastik hitam di tangannya, berharap pintu pagar gagah itu terbuka lebar baginya.

"Nak!!" Matanya berbinar gembira saat melihat seorang wanita cantik berjalan ke arahnya.

Wanita itu berhenti di depannya, melipat tangan di depan dada, wajahnya tertekuk dan masam sekali. Ia menghela napas panjang melihat kehadiran wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Bukannya gembira, ia justru merasa kesal dengan kunjungannya yang mendadak.

"Kenapa kesini?? Kan sudah kubilang untuk tidak datang menemuiku lagi!!" Putri Arum Prawesti, anaknya ini justru mengatakan hal yang begitu menyakiti hati sang ibu. Jangankan memintanya masuk untuk berteduh, Arum bahkan tidak membuka pagar di depannya dan mengusir sang ibu dari balik pagar.

"Ibu cuma kangen sama kamu, Nak. Ibu bawa lauk pauk kesukaan kamu." Tari menyodorkan bungkusan plastik hitam ke arah sang putri melewati celah pagar, namun dengan kasar Arum menampiknya hingga jatuh berhamburan.

Wajah Tari terlihat syok melihatnya, butuh waktu lama menyiapkan semua lauk pauk itu. Namun Arum justru membuangnya seakan akan semua makanan itu adalah hal yang menjijikan.

"Pergilah!! Sebentar lagi suamiku pulang!! Aku tak mau dia melihatmu." Lagi lagi kata kata kasar keluar dari bibirnya yang terpoles merah terang.

"Nak!! Ijinkan ibu memelukmu, Nak." Tari tak menyerah, ia begitu merindukan putrinya. Salahkan dirinya yang salah mendidik sang anak hingga menjadi begitu durhaka.

Bukan salah Arum yang cantik dan pintar, salahnya kenapa tidak bisa memberikan kehidupan yang layak pada putrinya ini. Arum pasti malu terlahir sebagai anak seorang penarik becak dan juga buruh cuci pakaian.

Kini status Arum telah menjadi mulia, istri seorang pengusaha konstruksi, sudah hidup enak. Tak lagi butuh kedua orang tuanya.

"Untuk yang terakhir kali saja, Nak!! Ibu mohon." Tari menggosok kedua tangannya di depan dada. Memohon  sesuatu hal remeh sebagai perpisahan. Tari menderita penyakit mematikan dan ia bisa saja meninggal kapan saja. Tari hanya butuh sebuah pelukan dan ia akan baik baik saja. Ia akan pulang, kembali ke gubuk reotnya dan menunggu ajal dengan tenang menyusul sang suami.

"Tidak!! Nanti bajuku yang mahal ini basah terkena kotoranmu." Arum menolak.

Belum sempat Tari menjawab, sebuah sorot lampu dan klakson mobil membuatnya terkejut, begitu pula dengan Arum. Tubuh renta Tari terjerembab ke belakang karena kaget, ia pun basah kuyup karena payungnya terlepas. Mobil sedan hitam mewah itu untuk berhenti di depan pagar. Sopir keluar, membawa payung untuk meneduhkan sang majikan.

"Mas Raja sudah pulang!! Lekaslah pergi!!" usir Arum dan langsung bergegas menyambut suaminya.

"Siapa?" tanya Raja saat melihat Tari yang mengenaskan.

"Nggak tahu, Mas. Cuma pengemis yang mau minta uang." Arum tersenyum dan mengecup punggung tangan suaminya.

"Oh ... kasih uang, Jo!" Raja menyodorkan uang seratus ribu pada sopirnya untuk diberikan kepada Tari. Arum melotot galak pada Tari supaya lekas menerima uang itu dan pergi hingga tidak menjadi pertanyaan. Sampai sekarang Raja suaminya tidak tahu kalau Tari adalah Ibu dari Arum.

"Yuk masuk!" Arum memeluk suaminya masuk. Raja merangkul Arum masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Tari yang kehujanan sambil menggenggam uang seratus ribu di tangannya.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang