Takdir Yang Berpindah Tangan

4.4K 370 14
                                    

Mana mungkin Arum hamil?

Ah, tidak mungkin, di masa lalu Arum sangat sulit hamil. Dia harus menunggu lebih dari satu tahun agar hamil anak Raja. Semua karena kesalahannya yang mengkomsumsi banyak obat dan juga miras. Sangking susahnya hamil, Arum sampai mendatangi banyak dokter kesuburan agar ia bisa mengandung.

Arum juga terus muntah dan mual akubat efek hormon kehamilan. Mulai dari bulan pertama sampai akhirnya kehilangan bayinya pun Arum masih terus mual dan muntah.

Tidak mungkin, aku tidak mual, tidak muntah, tidak tersiksa, mana mungkin aku hamil, batin Arum. Ia melihat perutnya yang masih datar, bagian bawahnya saja yang sedikit buncit.

Sudah lewat dua bulan semenjak kejadian dengan Abiram, harusnya Arum sudah hamilkan kalau memang malam itu membuahkan hasil. Tapi bukankah Arum tidak merasakan rasa mual? Tidak merasakan tersiksa dan pegal pegal?!

Aku nggak mens bulan lalu, sadar Arum.

Glup!!
Arum menelan ludahnya berat, apakah di kehidupan kali ini berbeda?? Dia tidak merasakan sakit dan deritanya masa masa kehamilan?

"Nggak mungkin! Aku pasti hanya terlambat datang bulan karena stress!" gumam Arum tak menyangkal pikirannya.

"Kenapa bengong?" Serafina menggoyangkan tangannya di depan wajah Arum.

"Enggak kok." Arum denial. Arum pasti akan merasa malu bila ia ternyata benar benar hamil. Padahal ia sudah mewanti wanti Sera agar tidak hamil duluan, ee ... malah Arum yang hamil duluan.

"Boleh aku ijin pulang cepat?" Arum melepaskan apronnya.

"Sure, wajahmu terlihat pucat." Sera mengangguk. Yoga juga mengangguk. Mereka melihat gelagat aneh pada Arum namun tak tahu apa itu.

Arum tak pernah menyadari kalau saat ini tubuhnya benar benar masih sangat murni, belum ada obat, minuman keras, atau apa pun yang bisa menyakiti tubuhnya. Tak sama seperti Arum yang berusia dua puluh tujuh tahun dulu. Apalagi saat ini usia Arum masih sangat belia.

Berbeda dengan anak durhaka yang membuang ayah dan ibunya sendiri. Arum yang sekarang menjadi anak penurut yang begitu berbakti pada orang tua. Siapa tahu Tuhan tak memberikan hukuman agar Arum menyadari betapa sulitnya menjadi seorang ibu. Tak ada drama mual dan muntah, mungkin yang satu kali itu Arum mengalaminya karena terpicu oleh zat asam dari kopi.

"Ini gila!! Bagaimana mungkin aku hamil??" Arum mengetukkan kepalanya pada lemari loker.

"Benar, tak mungkin aku hamil." Arum masih punya kesempatan, ia harus membeli testpack dan mengecek apa kah benar benar ada bayi di dalam kandungannya.

"Tapi aku takut." Arum menangkup wajahnya. Bagaimana kalau ternyata positif?? Ia hamil anak Abiram.

Arum teringat dengan kenangan di kehidupan pertamanya. Rini seharusnya dilecehkan, hamil, dan mati bunuh diri. Namun kali ini hal itu terjadi pada Arum. Bagaimana kalau dia sampai benaran menggantikan takdir Rini?

Hamil ... dipermalukan, lalu bunuh diri?

Arum semakin ketakutan.

"Abiram sialan!" Arum bersumpah serapah.

Setelah menenangkan hati sesaat. Arum pun meninggalkan toko bunga.

****

Tari tengah menjemur pakaian saat Arum pulang. Wajah Arum yang lesu membuat Tari penasaran. Ia pun menghampiri Arum.

"Kenapa, Nak?"

"Arum capek, Bu." Arum memeluk Tari dan meletakkan kepalanya di pundak Tari. Siapa sangka aroma tubuh sang ibu bisa membuat Arum tenang dalam sekejap. Arum merasakan rasa nyaman dan juga aman, seakan akan dia bisa melalui segalanya bila ada Tari dan Yono. Bodohnya Arum dulu, menyia yiakan obat pelipur laranya hanya demi mengerjar harta, tahta, pengakuan, dan juga cinta.

"Ibu pijitin?"

"Enggak usah, Bu. Arum cuma butuh pelukan. Bapak di mana, Bu? Kok nggak kelihatan?"

"Narik becak, Rum."

"Lho gimana sih?? Bukannya kaki bapak belum sembuh benar?? Kok malah nekat narik becak yang harus ekstra pakai tenaga kaki??" Arum kaget.

"Bapak bilang kalau nggak narik mau dapat uang dari mana?? Lagian bapak juga bingung kalau di rumah terus. Dia nambah linglung." Tari menghela napasnya.

Arum bangkit berdiri, ia pun kembali menyahut tasnya.

"Mau kemana?" tanya Tari.

"Beli motor buat bapak! Mending becaknya di kasih motor biar bapak tidak mengayuh."

"Uang dari mana??" Tari kaget.

"Tenang saja, uang Arum banyak! Dan uang itu halal kok. Arum sama sekali nggak mencurinya. Ibu sekalian ikut saja! Arum belii baju!" Arum memang punya banyak uang hasilnya memberikan masukan untuk Yoga. Dalam satu kali raup, Yoga bisa memperoleh tiga sampai sepuluh jutaan keuntungan. Di bagi dua dengan Arum.

"???" Tari penasaran, namun memilih untuk percaya dan ikut Arum pergi.

Arum mengajak ibunya berbelanja ke mall. Beliau begitu kagum karena baru sekali itu ia masuk ke dalam mall. Arum membelikan Tari banyak baju baru, sepatu, dan juga perhiasan. Sementara Arum juga membeli motor untuk sang Ayah. Motor di modifikasi sebagai pengganti kayuhan becak, tenaga genjot manual berubah menjadi tenaga mesin. Lebih efisien dan ayahnya tetap bisa bekerja tanpa melukai kakinya yang pernah cidera.

"Sudah, Nak. Nanti uangnya habis." Tari menolak saat Arum kembali membelikan tas.

"Habis bisa di cari lagi. Namun kesempatan bagi Arum untuk berterima kasih dan berbakti belum tentu ada lagi." Arum tersenyum penuh keharuan.

Tari pun memeluk Arum. Ia merasa Arum benar benar berubah ke jalan yang benar. Seakan akan gadis yang duduk di sisinya saat ini bukanlah putrinya yang dulu suka menggerutu dan marah karena makan tempe goreng setiap hari.

Melihat wajah sumringah Tari membuat Arum melupakan masalahnya sendiri. Ia mengalihkan fokusnya pada sisi kehidupannya yang lain. Arum mencoba denial, ia tak merasakan apa pun hingga belum tentu ia benar benar hamil.

"Ayo pulang, Nak. Ibu harus masak untuk makan malam nanti. Lagi pula ibuk pantang tidak di rumah saat bapakmu pulang kerja." Tari mengajak Arum kembali. Prinsip yang Tari anut memang berbeda, sebagai istri ia selalu menghormati suaminya. Melayani dengan apa yang ia punya, yaitu waktu.

Tari selalu berdiri di depan pintu untuk menyambut kepulangan suaminya. Sehingga Yono merasa di hargai, dan Tari pun selalu ada untuk mendorong dan memberikan semangat setelah Yono mengalami hari yang berat.

"Baiklah, ayo kita pulang. Bapak pasti senang kalau tahu Arum membeli motor baru untuknya." Arum senang.

Keduanya kembali ke rumah, para tetangga pun menjadi julid karena dalam beberapa hari saja Arum sudah membelikan kedua orang tuanya banyak pakaian, makanan, dan bahkan kendaraan baru. Mereka pikir Arum memelihara tuyul, atau menggunakan pesugihan supaya bisa memiliki banyak uang.

"Atau jangan jangan dia wanita simpanan?? Atau ayam kampus?" Tebak salah seorang ibu ibu komplek.

"Iya, paling bentar lagi juga bunting." Sahut warga yang lain.

"Hati hati nanti godain suami kita lagi!"

"Amit amit! Najis! Puih! Ayo kita usir saja dia. Kita demo pak RT." tukas mereka dengan bringasan.

*** BERSAMBUNG ***

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang