Calon Mertua

3.2K 276 13
                                    

"Tunggu!! Apa papa dan mamanya Mas Raja tahu kalau Arum hamil?" Arum mencegah Raja keluar terlebih dahulu.

"Kamu tenang saja, beliau sudah tahu." Raja menepuk punggung tangan Arum.

"Mereka tidak marah?" tanya Arum lagi.

"Bohong kalau aku bilang mereka tidak marah, Rum. Kamu nggak perlu memikirkan hal itu, mereka marahnya sama aku, bukan sama kamu." Raja mengelus pipi mulus Arum.

"Tapi ..."

"Ssshh ... jangan lupa, anakmu anakku juga. Tak akan ada yang tahu kebenarannya selama kamu diam." Raja menaruh telunjuknya di depan Arum.

"Tapi, Mas. Kamu dimarahin gara gara anak ini, bukankah itu nggak adil?" Arum merasa bersalah karena Raja teruslah yang menanggung dosanya.

"Jangan bicara tentang adil dan tidak adil, Rum. Kita ini sedang mencari jalan keluar terbaik. Bagiku ini yang terbaik, aku harap kamu juga berpikir hal yang sama." Raja tak mau Arum berubah pikiran hanya karena rasa kasihan atau pun bersalah kepadanya. Sungguh Raja ikhlas menerima anak Arum sebagai anaknya.

"Hiks ... maafin Arum, Mas." Arum menangis.

"Nggak perlu minta maaf, sekarang lekas tidur. Jangan sampai besok jadi mata panda saat ketemu sama calon mertua." Raja mencubit hidung Arum.

"Iya, Mas." Arum menurut. Setelah mengecup dalam dalam kening Arum, Raja meninggalkan gadis itu di kamar tamu.

****

Keesokan harinya, Arum sudah bangun pagi pagi sekali untuk mempersiapkan dirinya. Keuntungan dari orang yang bisa melihat masa depan, ia tahu bagaimana sikap dan kebiasaan kedua orang tua Raja. Mamanya tidak suka ada gadis yang bangun siang. Baginya yang masih kolot, perempuan itu harus bangun pagi, memasak, mengatur rumah, menyediakan kopi, menemani suami sarapan, dan juga sudah berbenah diri. Cantik luar dalam dan bijaksana. Pokoknya tipe tipe cedikiawan ningrat era kerajaan.

"Selamat pagi," sapa Arum. Sudah lama ia tak bertemu dengan nyonya besar di keluarga ini.

"Selamat pagi, kamu pasti Arum ya?" Senyuman manis terkembang lebar, membuat siapa pun terpesona. Kini Arum tahu dari mana wajah tampan Raja berasal. Raja memang mirip dengan ibunya.

"Iya, Tan."

"Duduklah, Rum. Temani tante membuat sarapan." Ratna membuat roti isi, beberapa pelayan sibuk mondar mandir memberikan laporan tentang masakan. Ratna mencicipin dan memberikan masukan ada kurangan apa.

"Tante biasa pagi sibuk begini. Membuat makan untuk seisi rumah dan juga orang kantor. Kelak tugas itu akan menjadi bagianmu." Ratna berbincang mengutarakan jadwal hariannya pada Arum.

Arum kaget, apakah itu berarti Ratna merestui hubungannya dengan Raja?

"Ehm ... baik, Tan."

"Berapa usia kandunganmu sekarang, Nak?" tanya Ratna dengan lembut, meski pun terlihat datar namun Arum yakin Ratna juga menyembunyikan rasa kesalnya pada Raja dan Arum. Bisa bisanya seorang yang terpelajar dan anak orang terpandang seperti mereka hamil di luar nikah.

"Dua bulan, Tan. Minggu ini masuk bulan ketiga," jawab Arum, ia terus meremasi jemarinya karena sadar, anak ini bukan anak Raja.

"Perutnya terlalu besar, bila secepat cepatnya diadakan resepsi pernikahan tetap butuh waktu setidaknya satu bulan. Semoga saja perutnya belum terlihat." Ratna menghela napas panjang.

"Tidak perlu resepsi, Ma! Kan Raja sudah bilang, yang penting sah dulu! Resepsi bisa nyusul kapan saja." Raja bergabung, membuat keduanya menoleh.

"Kamu ini anak satu satunya Mama dan Papa! Bagaimana mungkin tidak akan ada resepsi?? Kalau resepsinya nyusul, semua orang akan mencemooh kamu, Nak! Mereka bisa menebak kalau kamu dan istrimu dulu hamil di luar nikah makanya resepsinya di undur!"

"Ya biarin, suka suka mereka mau bicara apa. Yang penting itu Raja dan Arum bahagia dan anak ini lahir selamat serta punya akte lahir yang sah!" Raja mempersempit pemikirannya, demi Arum dan juga bayinya. Arum tetap diam dengan tenang, ia tak berani menyela perdebatan antara ibu dan anak ini, takut salah.

"Kepala mama pening, Ra! Kamu ini bikin Papa Mama pusing! Kenapa nggak bisa nahan to, Le?? Ini loh makanya dulu mama tidak pernah setujuh kamu sekolah di ibukota! Pengaruh buruknya banyak!" Ratna memijit pelipisnya.

"Ya habis mau bagaimana lagi, Raja cinta mati sama Arum. Biar dia nggak dikejar cowok lain ya Raja hamilin deh."

"Astaga!! Duh Gusti!! Anakku tenan apa bukan sih ini?? Kok bisa bisanya ... ash sudahlah," ujar Ratna yang kemudian bangkit. Sungguh sebuah pemikiran yang begitu demokratis dan liberal, muncul di kalangan anak muda jaman sekarang. Kalau Raja tinggal di jamannya, mungkin Raja sudah di usir dari rumah.

"Mama jangan marah donk! Raja janji akan hidup benar kedepannya. Doa restu mama papa yang paling penting saat ini. Resepsi hanyalah sebuah deklarasi saja kan, bukan hal yang harus." Raja memeluk Ratna dari belakang.

"Ya tapikan anak mama papa cuma kamu. Kami juga ingin menggelar pesta besar untukmu." Ratna kekeh.

"Ya sudah, kita resepsi, tapi habis akad saja ya, Ma. Nggak perlu di besarin." Pinta Raja mengalah, Ratna mengangguk.

"Mana calon menantuku?" Bima keluar dari kamarnya sudah dengan pakaian kerja yang rapi.

"Papa!!" Raja berseru dan memeluk papanya. Arum berdiri untuk menyapa juga.

"Katanya kamu menang lomba design ya?? Wah wah, berbakat sekali. Memang pantas jadi calon menantuku! Raja memang tak salah pilih istri." Puji Bima. Ia tahu Arum memenangkan perlombaan design. Banyak perusahaan design yang tertarik dengan design Arum dan ingin menjadikan Arum drafter mereka.

"Iya, Pa! Arum juara satu! Dia memang jenius arsitektur." Puji Raja lagi.

"Sungguh luar biasa! Kelak perusahaan pasti mengandalkanmu, Rum."

"Mas Raja juga seorang yang berbakat, Om."

"Jangan panggil Om, panggil papa dan mama saja." Bima duduk di meja makan. Arum dan Raja menyusulnya.

Sambil sarapan mereka berbincang bincang akrab. Tampaknya cukup nyambung karena bidang pekerjaan Bima juga adalah kontraktor. Arum dan Bima banyak berdiskusi tentang material dan juga bahan bahan apa saja yang akan berkembang dalam dunia bangunan. Ratna mencibirkan bibir karena iri tak bisa mengobrol dengan calon menantunya.

"Sudah jangan bicara tentang bangunan terus!! Bosan!! Bicara hal lain saja!" Cela Ratna.

"Mama pengen ngomongin apa?" tanya Raja tertawa dengan sikap mamanya yang kesal saat dicuekin.

"Bagaimana kalau bicara tentang keluarganya Arum? Mama jugakan penasaran dengan calon besan mama." Ratna menatap Arum.

Degh!! Hati Arum langsung gundah saat ia mendengarkan pernyataan Ratna barusan.

"Papa dan mamamu kerja apa, Rum??" lanjut Ratna. Arum menoleh pada Raja, bagaimana ini?? Harus jawab apa?? Apakah Arum harus jujur mengakui dia anak seoramg sopir becak?! Bagaimana kalau keluarga Raja tak bisa menerima Arum karena status sosial mereka yang berbeda jauh??

*** BERSAMBUNG ***

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang