Bukan Salahku

3.9K 374 19
                                    

"HOEEEKK!!" Tepat di dada Adila. Arum mual dan akhirnya muntah, semua ini gara-gara bau ikan asap yang tengah di masak oleh Tari.

"KYYYAAA!!!" Jerit Adila jijik saat cairan hangat berbau menyengat itu membanjiri pakaiannya.

Arum merasa perutnya lega namun tubuhnya lemas. Sementara para warga yang melihatnya langsung berasumsi yang tidak tidak. Jangan jangan Arum hamil? Karena wanita hamil sering mual dan muntah tanpa bisa ditahan disembarang tempat karena bau bauan.

"Pasti hamil, tuh! Beneran hamil kan?!" tuduh mereka.

"Iya kan! Pasti hamil."

Raja berdiri di depan Arum, memasang badan untuknya. Arum bersandar di bahu Tari karena masih lemas. Aroma ikan yang menusuk membuatnya kembali mual. Arum menutup mulutnya berusaha untuk tidak mutah lagi.

"Ini sangat menjijikkan! Dasar gadis tidak waras. Bisa bisanya dia muntah di bajuku??" terik Adila penuh kekesalan.

"Yang tidak waras itu Anda, Nyonya. Anda pikir gara gara siapa Arum begini?? Nggak anak nggak ibunya, bikin kesal saja." Raja berdecih di depan Adila.

"Siapa kamu ikut campur urusan saya??" bentak Adila.

"Saya kekasihnya Arum!" Raja mengutarakan statusnya pada semua orang.

"Cih, belum puas kamu ngerayu anak saya sudah cari lelaki lain? Dasar wanita murahan."

"Jangan kurang ajar ya, Tan! Kalau masih bicara buruk lagi tentang Arum saya nggak akan segan segan pukul Tante!!" Raja mengancam Adila. Tak peduli bila dia dibilang anak kurang ajar yang berani melawan orang tua.

"Anak jaman sekarang benar benar tak punya akhlak, ya?! Berani nggak sopan sama orang tua." Adila berkacak pinggang.

"Hahaha ... nggak ada akhlak Tante bilang?? Lalu anak Tante apa? Binatang?" Raja memincingkan matanya tajam.

"...."

"Coba Tante tanya sendiri apa yang sudah anak Tante perbuat pada Arum?! Kenapa nyalahin Arum. Arum saja sudah tidak peduli lagi dengan anakmu!"

"Kamu ..." Adila speechless dan langsung meninggalkan rumah Arum.

"Dan kalian warga kampung, bagaimana bisa kalian menuduh Arum dengan sangat kejam? Fitnah itu jauh lebih kejam dari pada pembunuhan, apa yang kalian katakan akan kalian tanggung di pengadilan surga kelak!" Raja membentak semua yang berkerumun di depan rumah Arum.

Semua warga mulai bubar satu per satu, meski beberapa masih sangat kesal lantara belum bisa membuktikan kebenarannya.

"Makasih ya, Nak." Tari berterima kasih.

"Tak perlu berterima kasih, Bu. Sudah tugas dan kewajiban saya untuk melindungi Arum." Raja membantu Tari membawa Arum masuk ke dalam rumah.

Arum masih merasa mual karena aroma masakan. Cepat cepat Tari mematikan kompor dan juga menutup panci. Aromanya perlahan lahan menghilang. Namun rasa penasaran Tari dan juga Raja tidak menghilang. Mereka menunggu sampai Arum tenang sebelum bertanya.

Tari merasa cemas, apa kah ucapan para warga itu benar?? Kalau Arum menjual dirinya? Bahkan sampai hamil.

"Ayo ke dokter, Nak. Kamu akhir akhir ini sering sekali sakit. Ibu cemas, Nak," ujar Tari sambil menggosok leher belakang Arum dengan minyak kayu putih.

"Tidak, paling cuma masuk angin." Arum mengelak, takut menyadari kalau ia hamil.

"Ibu benar, Rum. Lebih baik periksa. Supaya jelas sakitnya apa." Raja mengelus kepala Arum agar gadis itu menurut. Keduanya seperti tengah membujuk anak kecil minum obat.

Terdesak, Arum yang semakin kepikiran akhirnya menundukkan kepalanya dan menangis. "Hiks ... hiks ... ini bukan salah Arum, Bu."

"Iya, bukan salah kamu, Nak." Tari memeluk Arum. Hatinya merasa miris dengan penuturan anak gadisnya.

"Maafin, Arum, Bu. Tapi Arum takut, Bu."

"Apa yang kamu takutkan, Nak?"

"...."

"Rum ..."

Raja diam saja saat Tari memaksa putrinya berbicara. Raja sepertinya sudah tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir. Raja menjadi sangat terpukul, ia terududuk merosot ke bawah.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Arum, Nak Raja? Apa yang kalian sembunyikan dari Ibu?" Tari pun sudah tak bisa lagi membendung keingintahuannya. Langsung saja ia menarik lengan Raja meminta penjelasan.

"Bukan, Bu. Bukan Mas Raja." Arum bergeleng, karena memang bukan Raja lah yang melakukannya.

"Hiks ... jadi ucapan warga tadi benar?? Ya Tuhan, kamu itu masih muda hlo, Nak. Baru tujuh belas tahun. Kenapa kamu merusak dirimu sendiri, Nak?" Tari memukul mukul lengan Arum.

"Semua uang Arum bukan uang haram, Bu. Arum tidak pernah mencuri, apa lagi melacur! Kenapa ibu tidak percaya pada Arum?!" Arum bertanya dengan penuh linangan air mata.

"Kalau begitu pergi ke dokter sekarang! Tes kandunganmu! Buktikan kalau pikiran para tetangga tidak salah, Nak! Buktikan kalau Ibu tidak gagal mendidikmu!" Tari berteriak, baru kali ini dia benar benar marah pada putrinya.

Arum menelan ludahnya dengan berat, ia tak berani lagi berkata kata. Dokter pasti bisa membuktikan kehamilan Arum, dan itu berarti warga mendapatkan bukti untuk menyudutkan Arum. Nama Arum akan hancur, dunianya akan runtuh.

Raja menggenggam tangan Arum dan mengajaknya bangkit, bukankah belum tentu Arum hamil, siapa tahu dia juga hanya sakit maag. Mungkin Arum hanya stress.

"Masih ada harapan, Rum." Raja mengajak Arum periksa, Arum bergeleng pelan.

"Nggak usah takut, aku selalu di sisimu," bisik Raja menenangkan Arum.

Arum menurut, sepanjang jalan ia menggenggam tangan Raka. Keduanya tiba di sebuah klinik bersalin untuk memeriksakan diri. Tak pernah Arum bayangkan ke dokter kandungan akan terasa begitu menakutkan. Padahal dulu ia sangat sangat menantikan kesempatan untuk pergi ke sana demi Raja.

"Mas ..." Arum menarik tangan Raja sebelum melangkah masuk. Raja menoleh pada Arum.

"Kalau aku benar benar hamil bagaimana, Mas? Apa kamu bakalan ninggalin aku?" tanya Arum.

Raja terdiam, berpikir ... apakah dia bisa menanggung semuanya? Menjadi Ayah, mengakui anak yang bukan darah dagingnya. Bertanggung jawab atas anak yang tidak memiliki DNA nya?

**** BERSAMBUNG ****

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang