Aku Mencintaimu

3.7K 276 5
                                    

"Jadi bagaimana? Apa jawabanmu?" Lanjut Raja.

"Apa masih perlu di tanya lagi?" Arum terkikih pelan.

"Tentu saja, aku perlu mendengar jawaban darimu."

"Tentu saja aku mau, Mas." Arum mengangguk.

Raja memberikan cincin indah untuk mengikat Arum. Di bawah payung bintang yang megah, Raja bergerak mendekatkan wajahnya. Arum menutup matanya dan bergerak perlahan untuk menerima bibir Raja. Keduanya berciuman mesra di bawah gemerlap bintang dan sinar bulan.

Ciuman yang cukup panas hingga membuat suhu tubuh menghangat. Raja bergerak pelan, namun penuh penekanan. Arum mengalungkan lengannya ke leher Raja, memanjakan dirinya dalam pelukan Raja. Menikmati alunan gerakan yang mengingatkannya akan arti kata rindu.

"Aku cinta sama kamu, Arum." Raja mengusap bibir Arum dengan ibu jarinya.

"Arum juga, Mas."

"Jalani hidup ini sekali lagi bersamaku, ya, aku akan selalu ada untukmu."

"Iya, Mas." Arum mengagguk bahagia.

.
.
.

Lamaran Raja ditindak lanjuti serius oleh kedua orang tuanya. Raja mengajak Arum pergi ke kampung halaman untuk bertemu kedua orang tuanya. Arum sudah tahu bagaimana sikap orang tua Raja. Sebagai keturunan berbau ningrat, mereka sangat menjunjung nilai bobot bibit bebet saat memilih menantu. Arum berasal dari keluarga miskin, anak tukang becak, apakah mampu di sandingkan dengan Rini yang merupakan anak seorang hakim wilayah?

Arum menatap pemandangan yang silih berganti di bingkai jendela kaca kereta api. Raja tidur dipundak Arum sejak pertama kali mereka naik. Bukan tanpa alasan mereka memilih kereta api di bandingkan dengan pesawat terbang. Kehamilan Arum masih terbilang muda dan ia butuh surat pengantar. Sementara keduanya belum ada ikatan apa pun, hingga malas untuk meladeni cercaan atau pun sindiran dari pihak dokter karena hamil akibat kecelakaan.

"Ya ampun, maaf Rum. Aku ngantuk banget. Pegel ya pundaknya?" Raja mengusap pundak Arum.

"Enggak, Mas. Kalau mau tidur lagi juga gak apa kok." Arum memberikan pundaknya pada Raja.

"Enggak, sudah nggak ngantuk. Kamu bagaimana? Kalau ngantuk bobok sandaran sini gantian saja." Raja menepuk pundaknya.

Arum bergeleng, ia tak mengantuk meski pun hari mulai malam, meski pun masih butuh sekitar empat jam untuk sampai di kota B, Arum terlalu gugup hingga ia tak bisa tertidur.

"Hujan ya?" Raja menengok ke luar jendela, tetesan air  mulai terlihat menutupi pemandangan malam.

"Iya, Mas. Sudah lama nggak hujan ya? Arum kangen dengan hujan. Masih ingat tidak kalau dulu Mas Raja suka bawa Arum hujan hujan?"

"Serius? Aku suka bawa kamu hujan hujanan?" Raja terkesima dengan cerita Arum, sementara Arum tersenyum kecut karena cuma dia yang ingat semua penggalan kisah di kehidupannya yang lama.

"Jangan sedih, ah, meski pun Mas nggak ingat bukan berarti kelak kita tak akan melakukannya. Aku akan bawa kamu hujan hujan, namun setelah bayinya lahir ya." Raja mengusap perut Arum. Kini senyuman Arum berubah, jauh lebih manis. Raja sungguh mampu membuat hati Arum berbunga bunga ya.

"Mas ... apa papa dan mama mau menerima Arum, ya?"

"Ck, kamu itu loh Rum, nanya tentang hal ini sudah ratusan kali. Mas berani kasih jaminan kalau seratus persen papa dan mama nerima kamu sebagai menantu mereka." Raja meyakinkan Arum.

"Iya, Mas. Maaf." Arum menggeggam tangan Raja, ia hanya kawatir saja kalau tatapan sebelah mata mereka kembali di kehidupan Arum kali ini.

Perjalanan panjang kembali mereka tempuh. Arum bersandar di pundak Raja berusaha untuk memejamkan mata. Raja sudah kembali tertidur pulas. Banyak hal yang Arum pikirkan. Banyak sekali.

Arum juga menyimpan banyak ketakutan, tak pernah ia kira kalau dirinya akan berubah sepengecut ini begitu menjalani kehidupan keduanya. Menjadi orang baik membuat hatinya ikutan ciut.

Arum takut menghadapi kenyataan kalau keluarga Raja akan menolaknya.

Arum takut menghadapi kenyataan kalau Abiram sampai tahu kenyataan tentang kehamilannya.

Arum takut kalau sampai para warga menertawakan kedua orang tuanya karena memiliki anak seorang wanita yang hamil diluar nikah sepertinya.

Arum takut kalau semua yang ia perjuangkan akan menghilang tanpa sisa.

Arum juga takut kalau cintanya akan lenyap.

Arum membayangkan kalau ia menutup mata, maka ia akan kembali pada kegelapan yang menyeretnya masuk ke dalam kehampaan tanpa akhir. Kembali tak bernyawa seperti pada kehidupan yang pertama.

"Pemberhentian berikutnya ... stasiun XX!! Pemberhentian berikutnya ... stasiun XX!"

"Mas ... sudah sampai, Mas." Arum menggoncangkan lengan Raja. Pria itu terbangun, ia merenggangkan tubuhnya beberapa kali sebelum bangkit untuk mengambil koper di atas kepala mereka.

Keduanya turun dari kereta api, Raja membantu Arum menuruni beberapa anak tangga kereta. Dari kejauhan Raja bisa melihat sopirnya menjemput.

"Lik Sap!" Panggil Raja.

"Den Raja!!" Sapto langsung menghampiri Raja dan mengambil alih koper di tangannya.

"Ini ..." Tanya Sapto belum tahu siapa Arum.

"Pacar saya, Lik." Raja merangkul pundak Arum dengan mesra.

"Mas ..." Arum mencubit perut Raja.

"Kan beneran. Kita bahkan bakalan menikah. Kenapa mesti malu kenalan sama Pak Lik?? Besok malah kamu bakalan kenalan sama papa mama." Raja menggandeng Arum ke dalam mobilnya. Karena malam telah larut, Raja akan mengenalkan Arum besok pagi pada papa dan mamanya sebelum mereka berangkat ke kantor untuk bekerja.

"Jangan takut! Aku di sisimu!" bisik Raja saat mengajak Arum masuk ke rumah megahnya yang seperti istana.

"Apa Rini pernah kemari?" tanya Arum.

"Memangnya kenapa?" Raja kaget dengan pertanyaan Arum. Arum bergeleng tidak jadi bertanya. Kalau di masa lalu, mama Raja begitu menyukai Rini hingga menomor duakan Arum. Bila saja di kehidupan kali ini mereka belum mengenal Rini, tentu sana Arum tak akan terus di pandang sebelah mata.

"Rini sering datang kemari, kita kan satu SMA. Ayahnya dulu dinas di kota ini. Beliau pindah dinas ke ibu kota berbarengan dengan Rini masuk kuliah." Terang Raja. Arum langsung kecewa, ternyata sudah pernah bertemu dengan orang tua Raja.

"Begitu ya ..."

"Kamu nggak cemburu kan?? Kamu yang mancing duluan jadi nggak boleh cemburu!" Raja mencubit kedua pipi Arum.

"Iya ... iya ... duh ... sakit tahu!" Arum tak berkutik.

Tak lama mereka sudah tiba di ruang keluarga. Para pelayan mengambil barang barang Raja dan meletakkannya di dalam kamar. Arum mengamati sekitar rumah, benar benar tak berubah semenjak ia pergi meninggalkan kehidupan pertamanya. Arum terus saja kagum dengan design rumah milik keluarga Raja, begitu classy namun juga sangat cozy. Kesan mewahnya tak lekang oleh waktu. Pasti ayah Raja mendesignnya dengan sepenuh hati dulu.

"Istirahatlah, Rum. Tidur yang nyenyak." Raja meletakkan tas Arum pada kamar tamu.

"Iya, Mas."

"Ya sudah, Mas keluar dulu ya."

"Tunggu ... Mas, apa papa mama Mas tahu kalau Arum hamil?" tanya Arum mencegah Raja keluar duluan.

**** BERSAMBUNG ****

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang