Siapa Yang Lebih Cepat?

1.1K 199 21
                                    

"Pertanyaan berikutnya, kalau Fajar punya uang dua puluh ribu, beli es kucir 2, satunya harga lima ribu, berapa kembaliannya?" Arum mengajarkan cara menghitung uang pada anak Sarmi, Fajar yang memiliki mental disorder. Anak ini berkebutuhan khusus, meski pun tubuhnya bongsor, namun secara mental dia masih seperti anak kecil.

"Hah?? Satu buah es kucir lima ribu, kemahalan ah ..., Fajar nggak mau beli, Kak!" Fajar bergeleng. Arum tepok jidat, nggak gitu konsepnya Fajar, namanya juga cuma soal cerita. Arum mengajarkan pada Fajar dasar dasar bertahan hidup, menghitung uang salah satunya. Sekarang Fajar juga sudah bisa membaca dan menulis, waktu yang Arum habiskan di desa ia gunakan untuk mengajar si bayi bongsor.

"Ya elah, ini anak! Cuma soal, pura puranya saja! Cepetan di jawab, berapa?" Arum kembali mengingatkan. Namun dalam hati dia cukup bangga, anak didiknya bisa mengerti kalai harganya kemahalan.

"Em ..." Fajar mendengung sambil menghitung jari jarinya.

"Bagaimana?"

"Boleh nggak kalau es kucirnya di ganti es krim? Fajar lebih suka es krim." Bocah itu berkelit.

"Ihhh ... ngeles mulu dari tadi! Ya sudah di ganti es krim! Fajar beli es krim dua, satu harganya lima ribu. Uangnya dua puluh ribu, berapa nih kembaliannya?"  Arum menata uang di depan Fajar.

"Asiiikk!!" Fajar mengambil uang dua puluh ribu dan melihat dua buah batu yang ceritanya es krim. Lalu mengambil deretan uang yang ada di belakang Arum. Selembar sepuluh ribuan.

"Ini Kak, sepuluh ribu!!"

"Wahh ... benar!! Pinter kamu, Jar!!" Arum mengelus kepala Fajar, pemuda berusia sekitar lima belas tahun. Namun kelakuannya seperti anak lima enam tahun. Dia suka saat Arum membelai kepalanya.

"Ayo lagi ... soal berikutnya ... kalau Fajar punya uang lima pu-- akh!!" pekik Arum.

"Kenapa, Kak?" Fajar ikutan kaget.

"Bayi Kakak menendang, aduh, Dek! Sakit tahu!" Arum mengelus elus perutnya. Bayi di dalamnya menendang dengan sangat keras, mungkin ia ikut heboh, ikut senang seperti mamanya saat Fajar berhasil menyelesaikan soal.

"Perut Kakak buncit seperti ayah." Fajar terkekeh, ayahnya yang merupakan peternak kambing perutnya tak kalah buncit dengan Arum. Arum pun tertawa mendengar celotehan polos dari Fajar.

"Beda, Jar. Kalau perutnya Kakak isinya bayi, kalau ayahmu isinya T*hi." Sarmi datang dengan nampan berisikan pisang goreng dan teh panas.

"Makasih, Bu."

"Sama-sama."

"Makan dulu, istirahat, Jar." Arum menyodorkan teh panas kepada muridnya.

"Bapak Ibumu kok nggak kelihatan, Nak?" Sarma bertanya pada Arum.

"Oh, bapak sama ibu tadi nyarter mobil ke tempatnya pak Lurah, Bu. Arum hari ini ada jadwal kontrol ke dokter. Juga mau beli perlengkapan bayi."

"Nggak terasa ya, sudah mau lahir." Sarmi duduk di sisi Arum sambil mengelus perutnya. Sarmi sudah paham dengan cerita Arum, dia korban, namun bayi itu juga tidak bersalah. Syukurlah Arum bisa legowo menerimanya dan bahkan menyayanginya.

"Iya, dan Arum belum membeli apa pun." Arum menghela napas, waktu cepat sekali berlalu. Sudah mendekati masa ia bersalin.

Satu minggu lalu kasus Rini ditutup, berarti sudah satu bulan sejak Rini membunuh adiknya Sari. Kehamilan Arum sudah memasukki bulan ke sembilan, bulan terakhir.

Raja juga sudah bebas bergerak karena kasus itu sudah selesai. Ia tak perlu lagi menghadiri persidangan sebagai saksi karena hakim telah mengetuk palu. Raja hanya tinggal mencari keberadaan Arum. Arum terus bimbang, haruskan ia menghubungi Raja?? Saat Raja datang, apakah semuanya akan membaik? Atau ia akan kehilangan semua kedamaian ini lagi?

"Kamu hebat, Rum. Ibu menghadapi Fajar saja sudah hampir menyerah. Tak hanya cercaan warga, namun juga serangan dari keluarga besar ibu membuat Ibu menderita. Ibu sering bertanya tanya, kenapa dia harus lahir kalau terlahir cacat??"

"Fajar tak bisa memilih terlahir dengan utuh atau tidak, Bu. Namun untuk merawat dan memberinya kasih sayang ada di tangan ibu." Arum menggenggam tangan Sarmi, semua makhluk berharga di mata sang penciptanya.

"Kamu tidak takut dekat dekat Fajar? Kamu sedang hamil, bagaimana kalau menular?" Sarmi mengusap air matanya dan bercanda dengan Arum.

"Ibu ini aneh aneh saja. Bagaimana mungkin akan menular? Hahaha ... Fajar anak yang baik. Dia pintar dan cepat menyerap apa yang Arum ajarkan. Sayang sekali di desa tidak ada sekolah khusus anak anak berkebutuhan seperti Fajar." Arum memeluk Sarmi.

"Arum!!" Panggilan Tari membuat Arum menoleh. Tari dan Yono sudah kembali dengan mobil kijang milik pak Lurah. Mereka meminjamnya supaya Arum bisa ke kota untuk periksa, juga pergi untuk membeli perlengkapan bayi.

"Saya pamit ya, Bu." Arum mengecup punggung tangan Sarmi dan mengelus kepala Fajar.

"Iya, Nak. Hati-hati! Semoga bayinya sehat dan dalam lindunga Tuhan."

"Amin, Bu."

Arum pun pergi meninggalkan kediamannya di desa, pergi menuju kota. Berbelanja perlengkapan bayi dan juga memeriksakan kandungan kepada dokter karena sudah mendekati masa persalinannya.

"Pelan-pelan!" Yono membantu Arum turun dari mobil. Tari menggandeng Arum dengan perut besarnya.

Arum menggenapi rangkaian agendanya hari ini dengan bahagia. Pemeriksaan rutin adalah hal yang paling Arum tunggu karena ia bisa bertemu bayinya yang gemuk. Kalau hasil USG mencatat bobot bayinya sudah mencapai tiga koma dua kilo, gendut dan sehat. Detak jantungnya juga sangat keras, menandakan anak itu begitu sehat.

Terkadang ada banyak mata yang menatap Arum dengan pandangan menghakimi karena Arum selalu datang dengan Tari dan Yono, tidak pernah dengan suaminya. Namun hal itu tak membuat Arum mundur, ia tetap mencintai anaknya, bayi yang saat ini bergerak aktif di dalam perutnya. Keajaiban yang Arum rasakan begitu nyata, dan akan terwujud sebentar lagi.

"Masih kecil sudah hamil. Kecelakaan dulu mungkin." Bisik bisik para ibu ibu di sana dengan suami mereka.

"Kasihan ya, masih kecil sudah harus jadi ibu. Pasti sudah tak bisa main dan bergaul dengan teman sebayanya lagi."

"Betul."

Arum menghela napas panjang, telah mengalami kehidupan kedua kadang ia lupa kalau sekarang dia masih anak belia. Tubuhnya juga belum begitu siap mengandung anak. Dokter pun banyak memberikan wejangan supaya Arum bisa melahirkan normal dengan selamat.

"Obatnya sudah ibu tebus, Rum. Yuk kita ke toko, katanya mau cari perlengkapan bayi?"

"Iya, Bu."

Arum dan keluarganya meninggalkan rumah sakit. Tak lama setelahnya, Abiram datang ke rumah sakit itu, ia bertanya pada perawat. Sudah puluhan rumah sakit dan klinik bersalin Abiram kunjungi. Dan hari ini, proses panjang itu nampaknya membuahkan hasil. Jawaban yang ia nanti nantikan terdengar saat seorang perawat mengkonfirmasi keberadaan Arum.

"Wah, kamu terlambat. Baru saja pasien pulang."

"Boleh saya minta alamat atau no teleponnya?" Abiram bergegas mengambil ponselnya.

"Tapi itu data pasien."

"Tolonglah, Sus. Saya ini ayah dari bayinya. Niat saya bertanggung jawab." Abiram mengeluarkan uang dan memberikannya pada perawat di bagian pendaftaran itu.

Melihat uang yang cukup banyak, perawat itu akhirnya luluh dan membeberkan alamat Arum pada Abiram. Abiram yang telah berhasil mendapatkan alamat baru Arum langsung bergegas tancap gas menuju ke sana.

Sementara itu, Raja mendatangi Sera dan Yoga. Raja yakin keduanya masih berhubungan dengan Arum. Mereka berdua tahu keberadaan Arum. Raja berbeda dari Abiram, sudah pasti Sera akan mengatakan di mana Arum pada Raja.

"Dia ada di desa XXX, ini no ponselnya yang baru. Kali ini aku harap kamu tidak akan mengecewakannya lagi, Raja." Sera menyodorkan secarik kertas berisikan nomor ponsel Arum.

"Tenang saja, aku sudah menyingkirkan penghalanya." Raja tersenyum sebelum meninggalkan toko bunga milik Sera.

**** BERSAMBUNG ****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang