Bintangnya Malam Ini

6.1K 480 24
                                    

Arum sudah menabung untuk jangka panjang, sebuah investasi tanpa modal yang akan mendatangkan banyak uang sepuluh tahun mendatang. Arum juga membeli sebuah tanah kebun di sebuah dataran tinggi dengan uang penjualan rumah mereka. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, Arum menggunakan DP pembayaran rumah --yang rencananya untuk membayar rumah sakit--  untuk membayar sebidang tanah tak berharga.

"Tanahnya berada di dekat lereng, kenapa kamu membelinya?" tanya notaris yang juga kaget.

"Harga tanahnya sangat murah, uang lima puluh juta sudah bisa membelinya." Arum kagum, mana tanahnya begitu luas.

"Ya karena itu hanyalah tanah tak berharga di desa, pinggir tebing lagi." Notarisnya menyerahkan surat balik nama pada Arum.

"Tak masalah." Arum tersenyum, semakin berundak undak semakin baik, mereka tak tahu kalau sepuluh tahun lagi kawasan itu menjadi pusat wisata. Akan banyak bermunculan cafe cafe estetis instragramable, glamping, dan juga bungalo bungalo di dataran tinggi. Saat ini tanah itu memang tak berharga, namun kelak, harganya akan naik ratusan kali lipat.

Arum berpikir ia harus memberikan kehidupan yang damai dan tenang bagi kedua orang tuanya di hari tua. Mereka pasti senang mengurus resort wisata yang akan Arum bangun dengan uang investasinya nanti.

"Oke ... semuanya sudah beres." Arum mengantongi sertifikat tanah masuk ke dalam tasnya kembali. Dengan motor buntutnya ia kembali ke rumah.

Arum juga menjadi terkenal di kalangan para dosen, mereka sering memberikan Arum side job sebagai drafter di luar perkuliahan selama masa liburan. Dengan uang inilah Arum bisa membeli obat bagi kedua orang tuanya.

"Arum pulang, Pak, Bu."

"Masuk, Nak."

"Enak banget baunya, masak apa?" Arum bergegas ke dapur, sudah tak sabar untuk makan, akhir akhir ini nafsu makannya besar sekali. Arum mengecupi punggung tangan Tari dan juga Yono.

"Masak sayur bening sama bakwan jagung."

"Wah, mantab banget. Pake sambel tomat enak nih." Arum sudah mencomot sebuah bakwan dan melahapnya.

"Ibu kenapa nggak beli ikan atau daging? Dokter bilangkan bapakkan butuh protein supaya lekas sembuh," tukas Arum, ia memberikan uang belanja pada ibunya, "Apa uangnya kurang? Mau Arum tambah? Arum ada uang kok sebagai asdos."

"Ibu tabung, Nak. Ibu merasa sayang sama uangnya. Ibu dan bapak pikir setidaknya harus menabung untuk uang sakumu bila kelak kamu menikah," jawab Tari. Rumah yang seharusnya untuk warisan sudah tidak ada, hanya tinggal uang sisa penjualan yang bisa mereka berikan pada Arum.

"Bapak juga pikir kamu beli motor baru saja, Rum. Motor tua bapak sudah nggak layak pakai, teman temanmu pasti menertawakanmu kalau memakai motor buntut itu." Yono menyerahkan buku tabungan berisikan sisa uang penjualan rumah.

"Nggak mau, Pak! Arum masih bisa pakai motor itu. Lagi pula kalau memang mogok Arum masih bisa naik angkot." Arum bergeleng.

Keduanya saling menatap, mereka sangat terharu dengan perubahan sikap Arum. Dulu Arum sangat kasar dan juga semena mena, berbeda sekali dengan Arum yang sekarang. Keduanya sampai merasa bersalah karena tak bisa memberikan apa apa bagi Arum. Padahal gadis itu sudah besar, sudah saatnya bersolek untuk mencari pasangan hidup. Setidaknya dengan membeli motor baru dan beberapa potong sandangan yang elok maka Arum tidak akan terlalu di remehkan oleh teman temannya. Ia juga bisa terlihat lebih menarik di mata para pria. Sayangnya Arum tak berpikir demikian. Baginya percuma ada harta bila tak bisa hidup bahagia.

"Ya sudah kita bicarakan hal ini nanti, sekarang kita makan dulu saja ya. Sepertinya Arum sudah lapar berat." Tari mengelus pucuk kepala Arum karena dari tadi gadis itu tak berhenti ngemil bakwan jagung.

"Ibu tahu saja." Arum terkekeh.

"Ya sudah, yuk makan." Yono dengan bantuan tongkatnya berjalan ke arah meja makan.

"Selamat makan semuanya!!" Arum berseru, ia mengambil sepiring nasi dari tangan Tari. Siap untuk menikmati makan malamnya bersama dengan orang orang tersayang. Bagi Tari dan Yono, Arum adalah bintang bagi mereka, semakin berpendar ceria, semakin menyejukkan hati.

*****

Suasana makan malam yang hangat juga ada di kediaman keluarga Hendro. Pria itu memuji Abiram yang berhasil memenangkan tender resort, Adila pun begitu bahagia saat sang putra telah berhasil memenangkan hati ayah tirinya ini. Namun suasana gembiranya tak sampai di hati Abi. Abi justru melamun, mengudak aduk piringnya yang penuh dengan spagetti. Ia merasa tidak nyaman dengan pembicaraan itu saat teringat kejadian dengan Arum seminggu lalu.

Arum tahu bahwa Abirma menjualnya demi tender itu, demi harga dirinya di mata sang ayah. Abiram memejamkan matanya bila teringat dengan tatapan jijik Arum saat menatapnya. Rasanya menyesakkan, tidak enak, nyut nyutan. Abiram merasa bersalah, sepertinya ia mengambil langkah yang salah.

"Kenapa diam saja, Bi? Kamu bintangnya malam ini." Adila mengelus punggung Abiram. Tak berbeda dari Yono dan Tari, bagi Adila anaknya juga adalah kesayangannya, penyejuk hatinya.

"Mungkin dia terlalu lelah menggambar." Hendro menyahutnya.

"Atau pacaran," sahut kakak tiri Abi, Ruly sambil cengengesan.

"Papa benar, Ma. Abi capek, mau tidur dulu." Abiram mendorong kursinya ke belakang untuk bangkit. Ia tak punya nafsu untuk berdebat dengan Ruly. Wajah Adila terlihat cemas melihat anak kesayangannya berubah murung dan tidak ceria. Sebagai ibu dia tahu, sangat sangat tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Abi.

"Biarin Abi istirahat, Sayang." Hendro mengusap punggung tangan Adila.

Sepeninggalan Abi, Adila menatap anak tirinya yang masih makan dengan lahap. Dia penasaran, apa ucapan Ruly benar? Apa Abiram punya pacar?

Pemuda serampangan yang sering keluar masuk penjara karena obat obatan terlarang ini tahu kalau mama tirinya penasaran. Ia tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu tahu sesuatu?" tanya Adila setelah makan malam keluarganya selesai. Suaminya sudah kembali ke ruang kerja. Tinggal Adila dan Ruly bersama pelayan yang sibuk bekerja membereskan meja makan.

Ruly tersenyum smirk sambil mengambil ponselnya, ia membuka galery foto dan memperlihatkan foto foto Abi dengan Arum. Resolusi foto itu tidak terlalu besar, namun sudah cukup bisa menjelaskan hubungan Abiram dengan Arum.

"Bukankah ini si gadis penjual bunga?" Adila menutup mulutnya kaget, ia masih ingat betul wajah Arum karena Arum pernah menerima pukulan Hendro demi Abiram.

"Tak hanya itu, dia juga anak seorang supir becak. Tante pasti kesal kan? Anak kebanggan tante tak bisa menggait orang kaya, nggak seperti tante yang berhasil menggait papaku!"

"Panggil aku mama, Ruly!" kesal Adila.

"Cuih!" Ruly meludah ke bawah, tak sudi menerima Adila sebagai ibunya. Ruly meninggalkan ruang makan dengan wajah pucatnya dan jalannya sempoyongan, ia sepertinya sedikit teler karena efek obatnya masih belum hilang. Anak bodoh tidak tahu diri yang selalu menjadi halangan bagi Adila menepatkan Abiram sebagai pewaris keluarga itu.

"Ah ... apa yang Abiram pikirkan dengan mengencani gadis miskin itu?" kesal Adila, rencananya menjadi kan Abiram sebagai pewaris tidak boleh gagal hanya karena Abiram jatuh hati pada seorang gadis miskin.

**** BERSAMBUNG ****

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang