"Wajahmu merah!! Kamu sakit?" Pertanyaan itu selalu terlontar oleh orang yang Arum temui. Di mulai dari Tari dan Yono, merekalah yang pertama kalinya melihat wajah merah Arum tiap kali teringat dengan ciuman pertamanya dengan Abi. Setelah itu, pertanyaan yang sama terlontar dari bibir Rini.
"Tidak, aku tidak sakit." Arum bergegas menutupi wajahnya dengab rambut panjang. Ternyata terlihat sejelas itu di mata orang orang yang berpapasan.
"Tapi wajahmu merah sekali." Rini mencoba menyibakkan rambut Arum yang mirip tirai.
Arum semakin menunduk, ia menggigit bibirnya dengan kesal. Kenapa Arum bisa sebaper ini sih?? Ya Tuhan, kenapa dia begitu malu hanya karena sebuah ... tidak, dua buah ciuman singkat dari Abi?? Hm?? Kenapa? Dia bukan anak gadis yang batu puberkan?? Wait ... dia memang anak gadis remaja berusia tujuh belas tahun, bukan wanita dua puluh tujuh tahunan. Sebenarnya wajar bila ia puber atau mengalami debaran rasa dengan gairah yang besar dengan lawan jenis. Arum juga bunga yang baru saja mekar, yang mengeluarkan aroma harum menarik lebah dan kumbang datang mendekat.
"Ini minum." Raja memberikan sebotol air mineral ke atas meja Arum. Dia pun juga sama khawatirnya dengan Rini. Raja bahkan sudah membantu membuka segelnya.
Arum menarik napas sepanjang mungkin, dia tak boleh begini. Tak boleh baper hanya karena ciuman semalam. Teman temannya bisa menertawakannya.
"Thanks." Arum menyisir tirai rambut kembali ke belakang telinga. Ia pun menengguk air mineral pemberian Raja, setelah ia merasa baik, barulah Arum berani menoleh.
"Aku tidak sakit, hanya sedikit lelah."
"Oh, begitu."
Arum mengeluarkan tugas makalah yang harus di susun hari ini, berbeda dari teman temannya yang lain. Arum menulisnya dengan tulisan tangan pada selembar kertas folio. Ia tak menggunakan laptop, atau mengeprintnya dalam lembaran kertas hvs.
Arum melanjutkan lagi tugas makalahnya, menambahkan beberapa poin sekaligus memeriksa kembali apakah ada yang kurang dalam jawabannya. Rini melihatnya, ia lupa kalau ada tugas makalah hari ini. Rini bergegas membuka laptopnya.
"Rum, bantuin donk! Aku juga belum bikin nih." Rini merenggek.
"Kenapa kamu nggak nanya sama Mas Raja?" Arum bertanya balik.
"Soal milik Raja beda, Rum. Sementara milik kita sama." Rini mengiba.
"Tapi ..." Arum melirik ke arah Raja yang masih asyik berbincang dengan teman teman prianya. Tak bisakah Rini bertanya saja pada Raja? Kenapa harus bertanya kepadanya??
"Please ... anggaplah ini sebagai balasan karena aku sudah membantumu membujuk paman Benny meninjau ulang design resortnya." Rini mengungkit tentang bantuan yang ia berikan pada Arum kemarin.
Aku lupa kalau Rini memang sering meminjam dan menyalin tugas tugasku dulu, Pikirnya. Arum pun menyodorkan lembar jawabannya ke arah Rini. Rini dengan sumringah menerimanya.
"Aku janji nggak akan mirip saat menirunya. Aku akan mengambil intinya saja." Rini menjulurkan lidahnya manja pada Arum. Arum diam saja, ia sudah paham dengan sikap Rini yang selalu saja meminjam makalah atau pun konsep tugas milik Arum. Dulu Arum tidak begitu peduli karena saat Rini meminta bantuannya, saat itu pula Arum bisa bertemu dengan Raja. Tak ada yang dirugikan, mereka seperti simbiosis mutualisme. Kalau sekarang, entah bagaimana Rini terasa seperti benalu yang menumpang hidup pada tubuh Arum.
"Kenapa di tulis tangan? Kamu nggak punya laptop?" tanya Rini tanpa memahami kondisi keuangan Arum.
"Aku tidak punya uang untuk membeli laptop." Arum bergeleng.
"Kamu memang tidak punya, tapikan kamu bisa minta ke papa atau mamamukan?" Rini terus mengejar jawaban Arum. Arum memberangut, Rini seperti orang yang sengaja ingin menindas Arum dengan cara yang halus.
"Mereka tidak punga uang juga," jawab Arum datar.
"Oh, iya aku lupa kalau kamu miskin. Hahaha ... maafin aku, Rum." tawa Rini sambil menyalin tugas milik Arum, ia mengganti beberapa kalimat supaya tidak sama persis dengan milik Arum.
"Tak masalah." Arum tidak terusik, ia sudah paham dengan statusnya. Meski pun menyebalkan ucapan Rini memang sebuah kenyataan yang harus Arum terima.
"Kenapa mengungkit hal itu sih??" Raja datang, ia terusik saat mendengar penuturan Rini tentang keluarga dan kondisi keuangan Arum. Arum diam saja saat melihat Raja tengah membelanya di depan Rini.
"Siapa yang menghina, Beib?? Rini bangkit sambil menunjuk ke arah makalah Arum yang terbuat dari kertas. "Aku hanya merasa iba dengan kondisi Arum. Aku hanya memastikan apakah dia benar benar miskin dan ingin memberinya hadiah laptop sebagai bentuk pertemanan." Sangkalnya.
"Apa?" Arum menoleh, acting Rini ternyata juga sangat oke.
"Iya, aku bisa kok membelikanmu sebuah laptop sebagai hadiah pertemanan. Itu akan mempermudahkanmu dalam membuat laporan."
"Aku tidak membutuhkan laptop. Ini cuma makalah biasa, masih bisa ditulis dengan pergi ke warnet atau dengan cara manual. Aku begini juga bukan karena tidak mau pergi ke warnet, namun karena aku tidak ada waktu untuk pergi ke warnet." Arum menolak.
Raja melihat tulisan tangan Arum di atas meja Rini. Tulisan Arum memang sangat rapi dan rajin, tulisannya bagus, cocok untuk menjadi sekretaris kelas. Belum lagi jawabannya yang begitu sempurna, panjang namun bukan sekedar karangan indah, namun ada sumber sumber yang mendukung.
"Kamu hebat, bisa menulis jawaban sepanjang ini dalam waktu semalam." Raja memuji kehebatan Arum.
"Thanks."
"Dan Rini, apapun tujuanmu, tidak baik bila mengatakan kalau Arum adalah orang miskin. Dia bisa terluka tahu." Nasehat Raja membuat hati Arum berdesir. Raja membelanya di depan Rini. Hal yang belum pernah terjadi di kehidupannya yang lalu mendadak terjadi dengan segamblang ini.
"Iya, iya," jawab Rini.
Arum kembali duduk, ia menunggu Rini selesai menyalin makalahnya. Raja melihat ponselnya, mengetik beberapa pesan supaya pegawai di kantor papanya membelikan sebuah laptop untuk Arum.
"Sudah selesai!!" Rini terlihat senang. Arum tersenyum juga, kedepannya Rini akan semakin sering meminjam tugas pada Arum. Rasanya sesekali ia ingin mengisengi Rini dengan memberikannya jawaban yang salah. Namun untuk apa? Arum sudah banyak menyiksa Rini dulu, kini saatnya Arum menebus kesalahannya.
Saat mereka tengah menunggu dosen datang, tiba tiba ponsel jadul milik Arum berbunyi. Di layar kecilnya muncul nomor tidak dikenal.
"Halo," sambung Arum.
"Rum, ini Ibu, Nak," jawab Tari, ternyata ia meminjam telepon di rumah sakit untuk menghubungi ponsel Arum.
"A ... ada apa, Bu? Kenapa suara ibu serak dan patah patah? Ibu panik?" Arum mendengar ibunya panik hingga ikutan panik. Raja menoleh padanya.
"Bapak jatuh, Nak!! Mendadak ia pingsan dan terjatuh dari atas sedel becak!" Tari menangis.
"Apa???" Arum syok mendengarnya. Semua orang sampai menatap ke arah Arum ingin tahu, begitu pula dengan Raja.
"Bapak harus di operasi segera, Nak. Tapi kita tak punya uang sebanyak itu!! Bagaimana ini???" Tari menangis, meratapi nasibnya sebagai orang miski.
*** BERSAMBUNG ***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
RomanceYa Tuhan bila saja ada kesempatan kedua ... aku pasti akan ... Pernahkan kalian berpikir semacam ini? Apa yang akan kalian lakukan bila diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan? Arum Prawesti, seorang gadis jahat, si cantik yang menjadi pemeran antagon...