Kamu Gendutan, Ya?

5.3K 417 35
                                    

Hendro mendorong sebuah kursi roda, di atasnya ada wanita kurus dan pucat. Terlihat juga anak berusia sepuluh tahun tengah mengikuti kursinya dari samping.

"Tuan Hendro sangat tampan dan kaya raya, sayang sekali ia harus menemani istrinya yang sakit sakitan." Para perawat bergibah, salah satunya adalah Adila. Ia melihat Hendro yang tengah mendampingi istrinya kembali ke kamar setelah jalan jalan sore.

Adila melihat Hendro yang tampan, lalu beralih pada anak laki laki Hendro. Usianya sepantaran dengan Abiram putra semata wayang Adila. Namun Abiram terlihat dekil dan tidak terrawat sementara anak itu tampan dan menggunakan busana yang bermerk.

Sepanjang hari Adila melamun, berandai andai bila saja Abiram bisa hidup layak dan juga bahagia. Pasti menyenangkan bisa mendandani Abiram dengan busana mahal, sepatu mahal, dan juga memberinya makan makanan enak setiap hari. Gaji Adila sebagai seorang perawat rumah sakit tidak bisa menutup biaya hidup harian mereka.

"Mama! Abi lapar!" teriak Abiram begitu melihat Adila pulang. Adila memeluk Abi dengan erat, ia hampir menangis karena hanya membawa sebungkus nasi yang dibagi dua.

"Ayo kita makan!" Adila rela menahan lapar demi Abi, ia membiarkan Abiram makan terlebih dahulu sampai kenyang baru dirinya.

"Enak?"

"Enak, Ma. Abi pengen makan enak seperti ini setiap hari." Abiram membersihkan tulang ayam yang sudah tidak ada dagingnya.

Sebagai single parent, Adila tak pernah bisa memberikan yang terbaik untuk Abiram. Ia harus bekerja alih alih menemani Abiram dan mencurahkan kasih sayangnya di rumah. Apa lagi pekerjaan sebagai perawat kadang mengharuskannya masuk shift malam. Saat siang Abiram sekolah, malamnya Adila bekerja, tak bisa bertemu. Untung saja Abiram memakhlumi semuanya dan tidak tumbuh menjadi anak yang nakal.

Kekasih yang menghamilinya adalah pria bejad yang gila judi dan suka memukul. Ayah Abiram tak mau bertanggung jawab atas kehamilan Adila dan berusaha menggugurkan kandungan Adila. Adila memilih pergi dan membawa bayinya merantau ke kota.

Adila teringat dengan sosok Hendro, bukankah dia sangat kaya. Dan ... dia pasti juga kesepian.

Adila mengambil lipstik, memoleskannya tipis pada bibirnya yang seksi. Sebagai wanita Adila tergolong sangat cantik, pesonanya meredup karena lelah bekerja dan juga stress memikirkan kebutuhan hidup. Adila akan sedikit bersolek, menggait pria mapan dan kaya raya namun kesepian seperti Hendro.

Mereka berkenalan, tak sulit bagi Adila untuk masuk ke dalam kamar rawat inap milik istri Hendro dan merayu Hendro di sana. Pertama hanya obrolan-obrolan ringan sampai akhirnya berakhir di atas ranjang. Hendro yang kesepian karena istrinya sakit keras mudah sekali terjatuh pada pesona Adila.

Keduanya pun akhirnya menikah setelah setahun menjalin hubungan asmara secara diam diam. Adila menikahi Hendro begitu istri sahnya meninggal. Dia memberikan kehidupan yang layak bagi Abiram. Benar, Adila hanya melakukannya demi Abiram, putra semata wayangnya.

Siapa yang menyangka Adila tak pernah bisa memberikan keturuanan pada Hendro. Mereka tak dikaruniai seorang anak pun. Hingga Adila merasa harus menyingkirkan Ruly bila ingin tetap memberikan semua kekayaan Hendro pada Abi.

Di mulai dari sikap tulus sebagai seorang ibu, berakhir dengan sikap tamak karena tak ingin kekayaan suaminya jatuh ke tangan anak tiri. Semesta seakan membantu Adila, saat remaja, Ruly mulai membangkang, ia menjadi anak nakal, berandalan yang suka mabuk dan juga berjudi.

Adila tahu, namun tidak berusaha mencegah. Dia selalu beralasan takut Ruly membencinya, padahal Adila sengaja, supaya Ruly terus mendapatkan tatapan sebelah mata dari ayahnya sendiri. Puncaknya saar Ruly dipenjara akibat kasus obat obatan terlarang. Hendro sungguh kecewa dengan Ruly.

Sementara Ruly di penjara, Adila fokus mendidik Abiram dengan benar, Abiram selalu menjadi yang terbaik di sekolahan, berprestasi, bahkan di juluki designer jenius. Semua karena genjotan Adila, ia yang membuat Abiram sukses.

Semuanya berjalan mulus, sampai detik saat mendadak Abiram mengurung dirinya di kamar. Mendekam bak orang gila sambil mabuk mabukan. Adila menjadi takut, takut kalau Hendro mendapati sikap Abiram yang buruk. Bagaimana kalau Hendro mengurungkan niatnya mewariskan perusahaan ke tangan Abiram? Bagaimana kalau dia memberikan tatapan penuh hinaan pada Abiram?

Adila naik pitam, usahanya selama bertahun tahun hanya akan menjadi debu bila Abiram mengacaukan segalanya.

"Keluar, Bi!! Atau mama temui gadis itu!" Adila mengancam, benar saja, pintu langsung terbuka begitu Adila menyebut Arum di depan pintu kamar anaknya.

"Jangan usik, Arum!" seru Abi.

"Maka keluar dan bangkitlah! Lakukan apa yang semestinya di lakukan oleh seorang pewaris keluarga Hendro Hartono!!" Adila menangkup wajah Abiram. "Bila kamu sukses, jangankan gadis itu! Wanita mana pun akan bertekuk lutut di depanmu!" serunya lagi.

"Tapi Arum membenci Abi, Ma."

"Gadis itu berani membencimu??"

"Abi melakukan kesalahan. Abi pantas di benci." Abiram menundukkan kepalanya.

"Lihat mama, Abi! Dengerin mama!" Adila menangkup pipi Abiram dan mengangkatnya supaya menatap kedua mata Adila.

"Mama akan membantumu, Bi. Namun tidak sekarang. Sekarang kamu harus fokus kuliah, membantu papamu di kantor, dan juga membuktikan padanya kalau kamu layak mewarisi H konstruksi," tandas Adila. Abiram mengepalkan tangannya, ia mengumpulkan kembali semangatnya yang semula sudah hancur berkeping keping.

"Mama yakin dia akan kembali kepadamu. Tak ada wanita yang tidak suka dengan pria mapan dan berkuasa." Adila mengelus lengan Abiram, Abi mengangguk pahamx

Sepeninggalan Abiram, Adila langsung memanggil asisten pribadinya dan meminta wanita itu untuk menyelidiki arum.

"Cari tahu tentang gadis bernama Arum. Aku harus menemuinya. Dia harus pergi dari hidup Abiram." Adila mengeraskan rahang, ia harus segera menyingkirkan Arum.

"Baik, Nyonya."

*****

Seminggu kemudian, di toko bunga.

"Senyam senyum terus, ada hal baik apa?" tanya Sera pada kekasihnya. Pria itu tak berhenti tersenyum karena ia memenangkan banyak sekali cuan dari bursa saham. Semua karena Arum, apa pun yang diucapkan Arum selalu benar. Arum sungguh bagaikan mesin penghasil uang untuknya.

"Bagaimana? Menang banyak?" tanya Arum nimbrung.

"Benar, semua karena dirimu! Aku akan mentransferkan uang keuntungan yang aku janjikan ke rekeningmu." Yoga mengangguk, ia bahagia karena uangnya telah bertambah dengan sangat cepat berkat Arum.

Arum jelas terlihat puas, ternyata ada hikmahnya juga sering menonton berita ini itu. Dia bisa tahu industri apa saja yang sedang meroket naik dan apa yang akan turun. Arum tersenyum puas saat menatap nominal uang yang dikirimkan oleh Yoga.

"Kamu gemukan ya, Rum?" Celetuk Sera.

"Oh ya?" Arum bergegas melihat ke kaca, bercermin di sana.

"Iya, perutmu buncit tuh." Sera menunjuk ke arah perut Arum.

Arum melihat ke arah cermin, menaikkan sedikit kaosnya. Perut bagian bawahnya memang sedikit buncit. Wajah Arum memucat, mana mungkin??? Batin Arum.

*** BERSAMBUNG ***

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang