Suara kicauan burung berbarengan dengan semilir sejuk angin di pagi hari. Embun menetes dari ujung dedaunan aglonema milik bapak. Sinar matahari menelisik masuk melalui celah gorden berwarna merah yang telah pudar sebagian, berubah warna menjadi merah jambu. Panasnya matahari memang mampu mengubah benda apa pun menjadi usang bila tersorot terus dalam jangka waktu yang lama.
Yah keluarga Pak Yono memang tak memiliki cukup uang untuk mengganti kordennya. Bila belum sampai sobek mungkin mereka tak akan menggantinya.
"Nak ... bangun, Nak!! Sudah siang." Tari menggoncangkan tubuh putrinya yang masih lelap. Semalam Arum meminta Tari untuk membangunkannya lebih awal karena hari ini ada upacara penerimaan mahasiswa baru.
Mata Arum mendadak terbuka lebar seakan akan baru saja terbangun dari mimpi buruk yang begitu menakutkan. Jantungnya berdetak dengan kecepatan tinggi, seperti motor yang tengah berpacu pada lintasan balap.
"Hah ... hah ...." Arum terengah, ia menggosok wajahnya mencoba mengusir ketakutan.
Matanya membelalak lebar saat menyapu sekitar ruangan. Dinding plester tanpa cat, lemari usang penuh tambalan kalender, meja belajar dari kayu yang penuh dengan tempelan ringkasan pelajaran, dan juga dinding pembentuk kamar dari triplek. Sama persis dengan kamarnya saat masih gadis. Aroma tanah basah sehabis hujan bercampur dengan aroma knalpot motor milik sang ayah juga sama persis dalam ingatan alam bawah sadarnya.
"Hah??" Wajah cantiknya mengeras, mencoba untuk mencerna dengan apa yang telah terjadi kepadanya. Bukankah seharusnya dia telah mati? Meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit setelah di bunuh oleh selingkuhan suaminya? Kenapa mendadak ia ada di gubuk reot milik kedua orang tuanya.
"Aku?? Di mana ini?? Apa aku sudah mati??" Arum menggerayangi dirinya sendiri, memeriksa tubuhnya yang masih utuh tanpa perut yang membesar atau pun darah yang mengucur dari cela paha. Meski pun nyerinya seakan akan masih terasa sampai ke ulu hatinya, namun ia benar benar tidak terluka.
BRAK!!
Arum berlari, menggebrak lemari pakaian untuk bercermin. Ia mengamati dirinya dengan kesadaran penuh, melihat ke arah wajahnya yang terpantul pada kaca, itu berarti dia bukan hantu karena masih memiliki bayangan di permukaan cermin.
"Wajah ini?? Kulitku masih sangat halus dan kencang, tahun berapa sekarang?" Arum menyadari sesuatu yang berbeda. Lekaslah ia mencari kalender, Arum menengok angkanya lantas menutup mulutnya tak percaya.
"Tahun 2008, aku kembali ke sepuluh tahun yang lalu," gumamnya.
"A ... Arum, ke ... kenapa, Nak?" Galagap Tari yang ketakutan dengan perangaian anaknya yang mendadak berubah.
Arum sadar, ia tak sendirian di dalam kamar. Ada sang bunda yang saat ini meringkuk keheranan dan juga takut. Arum langsung mengendurkan wajahnya yang tegang. Alis gadis itu mengerut mendapati ibunya yang tengah ketakutan.
"Ibu?? Kenapa ibu ketakutan begitu??" tanyanya, namun Tari justru memejamkan mata saat tangan Arum hendak mengelus wajahnya.
Ya Tuhan, apa dulu aku begitu menyebalkan?? batin Arum penuh penyesalan. Ia sangat galak, suka membentak dan bahkan tak segan segan menyakiti Tari bila tak memenuhi keinginannya. Arum merasa sangat bersalah, apa lagi bila ia teringat ia pernah merasakan betapa susahnya mengandung seorang anak.
"Maafin Arum, Bu." Air mata Arum menetes tak terbendung.
"Nak, kamu kenapa? Apa sakit?" Tari keheranan dan langsung memeriksa keadaaan Arum.
"Ibu .... hiks ... hiks ..." Arum menangis sejadi jadinya sambil berlutut di depan sang bunda. Arum sangat menyesal telah menjadi seorang anak durhaka. Bila memang ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuknya, Arum pasti akan memperbaiki semua kesalahannya di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
RomanceYa Tuhan bila saja ada kesempatan kedua ... aku pasti akan ... Pernahkan kalian berpikir semacam ini? Apa yang akan kalian lakukan bila diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan? Arum Prawesti, seorang gadis jahat, si cantik yang menjadi pemeran antagon...