Gadis berusia dua puluh satu tahun itu mondar-mandir di kamar dengan perasaan tak nyaman. Baru akan menggigit kukunya, namun terhenti mendapati jari-jarinya baru dipulas cat kuku berwarna ungu lilac semalam.
Masih dapat dirasakan jantungnya berdetak keras di dalam sana. Dia menggigit bibir bawahnya. Menepuk-nepuk dadanya guna menetralkan debaran jantung dan napasnya yang tersengal.
Kejadian macam apa yang baru saja dialaminya?
"Tenang, Cantika. Tenang ...," gumamnya pada diri sendiri. "Lupain kejadian memalukan tadi!" Dia mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya ikut terangkat berayun naik dan turun mengikuti ritme tarikan napasnya. Dia terus mengulangnya beberapa kali untuk menenangkan diri.
Cantika lalu duduk di tepi ranjang, memejamkan mata erat. Namun bayangan akan kejadian tadi pagi malah melintas lagi di kepala.
***
"Byan, Caca, bangunnn .... Kalian jadi ikut nggak?" Cantika menepuk pelan bergantian dua bocah perempuan yang tidur di ranjang berbeda dalam satu kamar serba merah muda dan ungu itu. "Katanya mau jogging pagi?"
Tidak ada satu pun dari nama yang dipanggilnya membuka mata. Mereka masih terlelap pulas bak putri tidur yang tak bisa dibangunkan sebelum waktunya. Ini karena mereka tidak langsung tidur semalam. Malah lanjut bermain game setelah main salon-salonan. Akibatnya, anak-anak ini jadi sulit dibangunkan.
Cantika akhirnya menyerah, kemudian berpindah ke kamar sebelah, kamar si sulung. "Bri, Brian. Mau ikut jogging nggak?"
Terdengar erangan pelan dari Brian, remaja laki-laki itu mengulat sebentar. Membuat raut Cantika bersemangat sebelum dia melihat Brian kembali tertidur lelap. Sudut bibir Cantika segera melengkung ke bawah ketika upayanya tak berhasil membangunkan satu pun dari anak-anak yang belakangan ini sering dijaganya.
Mereka tidur seperti bangkai.
Sepertinya pagi ini Cantika harus berjogging sendiri.
Akhirnya Cantika hanya bisa menghela napas, keluar dari kamar Brian. Dia sudah rapi, sudah berganti pakaian mengenakan sportwear. Baju atasan dan celana leggings yang dikenakannya begitu pas di badan, membuat setiap lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas. Dia lalu mengambil karet hitam di nakas, menguncir seluruh rambut panjangnya ke belakang.
Sebelum mulai berlari, Cantika berpose dan mengambil foto dirinya beberapa kali, mengunduhnya ke media sosial, menyertakan akun sponsor yang memintanya mempromosikan set pakaian olahraga yang dikenakannya. Kemudian dia memasang earphone ke telinga dan memutar lagu di ponselnya agar tidak jenuh lari pagi sendirian.
Kompleks perumahan masih tampak sepi. Udara masih terasa sangat sejuk, bahkan dia dapat mencium bau embun dedaunan di pagi hari.
Senyum Cantika pun mengembang, dia selalu suka aroma basah di pagi hari. Setelah ritualnya selesai, Cantika mulai berlari mengitari kompleks sembari mengamati satu per satu rumah besar yang dilewatinya. Baru satu putaran pendek, ketika gadis itu melihat sebuah mobil dengan jendela setengah terbuka di seberang lapangan.
Keningnya mengenyit heran. Cantika melepas earphone dari telinganya.
"Ada apa ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Dari seberang, Cantika melihat seorang pria yang duduk di balik kemudi tampak meringis, mengerjap-ngerjap kepayahan menahan sesuatu. Sesekali kepalanya mendongak naik lalu menunduk seperti kesakitan. Pikiran Cantika langsung membawanya pada beberapa kekhawatiran.
Apa orang itu sakit?
Orang itu terluka?
Atau jangan-jangan kena serangan jantung?!
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]
Romance"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan." "Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee." Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...