"Cinta bisa membuat orang jadi lemah dan bodoh. Cinta juga bisa membuat seseorang depresi, marah, dan tak puas."
--Kumpulan Patah Hati
====
Mengenakan crop top, tank top, sportswear, dan bikini sudah menjadi hal yang biasa untuk Cantika saat dia menerima produk endorsement demi menyambung kelangsungan uang sakunya. Saat ini bahkan pakaiannya masih utuh lengkap meski tank topnya sedikit tersingkap mengekspos perut ratanya yang mulus. Tetapi dibandingkan itu semua, Cantika menanggung malu berkali-kali lipat lebih banyak.
Bukan hanya karena pakaiannya tidak rapi seperti semula. Mulai dari dirinya kini berada di rumah pria dewasa sendirian, tubuhnya yang entah sudah berapa lama terperangkap di sofa, di bawah tubuh atletis Ben, juga pagutan panas—yang harus dia akui—yang baru pertama dirasakannya seluar biasa ini.
Mungkin otaknya sudah kacau. Tapi, sungguh ... pria itu amat pandai melakukannya.
"Kiara Cantika, you're the most beautiful woman I've ever met," erang Ben sembari menghujani lehernya dengan kecupan.
Cantika tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah penolakan pertamanya. Dia lebih memilih pasrah dan menerima meski selama ini selalu berprinsip "no more than kiss". Kedua tangannya berada di atas kepala dalam cengkeraman satu tangan Ben. Sedang satu tangan Ben yang lain membelainya, menggodanya, bermain-main tepat di atas tulang rusuknya.
Sebelah kaki Ben menopang pria itu agar tidak benar-benar menindih tubuhnya dengan berat badan. Sebelah lagi mengisi tempat di antara kedua kaki Cantika. Sesekali menekan bagian tengah jins pendeknya, tak ayal membuat Cantika menjepit kaki dan mengeluarkan desahan tertahan.
Kalau saja tidak ada yang menghentikan, jemari Ben mungkin sudah berhasil masuk ke balik bra sekarang, memainkan benda lembut di dalam sana. Sialnya, kegiatan menyenangkan Ben harus terinterupsi oleh suara berisik yang terus-menerus menjerit.
"Crap!" maki Ben pelan, memutar kepala mencari sumber suara. "HP kamu."
Mau tidak mau, Ben beringsut bangun dari posisi semula dan mendudukkan diri di sofa. Gadis di depannya ikut bangun, menarik turun bajunya. Menolehkan kepala mencari ponselnya yang berdering.
Sesaat kemudian Cantika berhasil menemukan benda pipih itu ada tertimpa di belakangnya. Menatap layar dan menekan layarnya sekali sebelum deringan itu akhirnya berhenti.
Ben yang terus memerhatikannya pun bertanya, "Kok nggak diangkat?"
"Bukan telepon. Itu alarm pengingat, aku harus pulang sebentar lagi."
"Again??" tanya Ben dengan raut tak puas. Dia bahkan baru mulai. "Kamu itu betulan kayak Cinderella."
"Kalau aku nggak pulang, nanti memar aku nambah lagi."
Sunyi sejenak.
Wajah Cantika tampak terkejut karena kata-kata yang baru meluncur dari mulutnya sendiri. "Maksud aku—"
"Jadi itu bukan karena kepleset?" potong Ben mengerutkan dahi.
Sebelumnya Ben merasa benar-benar kesal dan terganggu oleh dering berisik jahanam yang menghentikannya. Namun mendengar Cantika keceplosan, perasaan itu sekejap menguap berganti rasa bersalah.
"Gara-gara kamu pergi sama aku waktu itu, ya?" sambungnya, karena Cantika tidak menjawab.
"... Aku juga yang mau ikut kamu. Jadi bukan salah kamu sepenuhnya."
"Sorry ...," ucap Ben menyesal. Sungguh. Dia tidak menyangka kalau orang tua Cantika ternyata sekeras itu pada anak perempuan mereka.
"Aku pulang aja sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]
Romance"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan." "Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee." Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...