"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan."
"Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee."
Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
===
Ben: Kamu balik ke sini?
Ben: Belum selesai acaranya?
Cantika melirik notifikasi dua pesan masuk yang belum dibukanya itu ratusan kali sejak keluar dari restoran. Dia dalam posisi terdesak saat ini. Tidak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa ke mana-mana. Otaknya tidak dalam kondisi bisa berpikir jernih.
"Bukannya itu tawaran yang bagus?" Tante Santy memulai tanpa tedeng aling.
"Gimana menurut Ci Rita?" Tante Fira mungkin bertanya, tapi nada dan ekspresinya tak menunjukkan demikian.
Cantika tidak berkutik. Dia seperti sandera. Sandera yang digunakan untuk mendapatkan tebusan saat para tantenya memerangkap dan mengelilinginya setibanya mereka di rumah om Dany. Cantika tahu, omnya mungkin yang paling mengharapkan kerja sama ini karena bagaimanapun, Asiafood akan kerjasama ke perusahaannya, serta merangkul perusahaan kecil itu dalam naungannya. Namun, yang tampak lebih berambisi adalah para tante Cantika.
Bukan tanpa alasan Dany mengajak kakak-kakak perempuannya. Dia tak perlu tenaga ekstra untuk membujuk keponakannya karena sudah ada yang akan menjalankan peran itu untuknya. Terbukti dari apa yang terjadi sekarang.
Lagi-lagi, Arita melirik Cantika sepersekian detik seperti saat di restoran. "Cantika masih kuliah."
"Soal itu bisa diatur, Ci. Toh, sebentar lagi Cantika lulus."
Baru saja Cantika bisa sedikit bernapas lega karena perkataan ibunya, tapi tiba-tiba kalimat Tante Fira kembali menjorokkannya.
Entah bagaimana, tante Fira beralih mendesak Cantika. "Ya, kan? Sebentar lagi kamu lulus. Persiapan bisa dimulai sedikit demi sedikit dari sekarang. Katanya kamu juga akrab sama anaknya Pak Dito."
"Jangan terlalu mendesak Cantika, Ci," ucap Dany menengahi. "Kata Pak Dito itu cuma tawaran yang perlu dipertimbangkan, nggak wajib."
"Tapi coba pikir deh, gimana dampak tawaran itu ke depannya. Kalau punya relasi, apalagi menantu dari Wangsawardhana, aku juga mau," celetuk tante Fira dengan segala gerakan tangan hebohnya.
"Memang kamu pikir, kamu aja yang mau? Aku juga nggak bakal nolak kalau mereka minta anaknya dijodohkan sama anakku. Tapi yang dipilih Pak Dito kan Cantika. Katanya, kamu dekat sama anaknya Pak Dito, ya?" Tante Santy yang ikut menimpali beralih pada Cantika.
Jujur saja, keadaan ini membuat Cantika syok. Tiba-tiba ditunjuk sebagai calon penghubung antara dua keluarga. Dia memang sempat bergurau beberapa kali soal tertarik pada Miko, bahkan meminta lelaki itu berpacaran dengannya. Tapi tidak menyangka gurauan yang sering diucapkannya itu malah terwujud dalam bentuk yang lebih esktrem. Perjodohan.
Ditambah fakta bahwa Miko berasal dari keluarga Wangsawardhana—yang berperan penting dalam pergerakan ekonomi negara—, sungguh merupakan hal baru bagi Cantika. Pria yang hidupnya bahkan bisa dibilang sederhana untuk ukuran seorang putra konglomerat ternama. Kalau begini, mana berani Cantika bicara omong kosong lagi di depan Miko?