57| Settingan

66 2 0
                                    


===

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===

"Kalau gitu, mulai sekarang jangan ganggu aku," ucap Cantika lirih.

Helaan napas Ben menggelitik dagu Cantika. "Kasih tau aku alasannya. Jelasin biar aku ngerti." Nada pria itu melunak.

Namun, Cantika hanya menggeleng dengan air mata yang kembali mengalir.

"Kalo kamu cuma butuh suami, aku bisa gantiin dia."

"Nggak bisa gitu, Ben. Nggak bisa gitu."

"Ya terus apa? Apa yang bikin kamu lebih milih cowok jadi-jadian yang nggak jelas orientasi seksualnya itu? Jadi dia homo apa biseks?—Oke, itu nggak penting. Gila ya, dari awal aku udah ngerasa curiga sama dia. Tau-tau main serobot pacar orang," oceh Ben dongkol.

Seharusnya Cantika menyingkir sejak tadi. Tapi berada di pangkuan Ben membuatnya nyaman. Plus, lengan kokoh yang mendekap pinggangnya terasa hangat di cuaca sejuk begini. Cantika jadi lupa untuk beranjak.

"Pokoknya aku nggak bisa. Tolong jangan ganggu aku untuk sekarang. Ini satu-satunya cara aku bertahan." Tangan Cantika memegang pinggiran meja kuat-kuat. "Anggap kita selesai."

Mana mungkin Cantika bisa mengatakan faktor sesungguhnya perjodohan ini adalah demi pertukaran? Bisnis keluarga, balas budi, menghentikan skandal antara sahabat dan pamannya. Cantika terlalu malu jika Ben mengetahui kebobrokan dirinya dan keluarganya.

"Ehem!" Dehaman seseorang membuat Cantika dan Ben menoleh. Perlahan-lahan celah pintu terbuka lebar. "Mon maap nih ganggu, cuma mo ingetin pintunya nggak kekunci," kata Theo menempelkan kedua telapak tangan di depan wajah, mengangguk teramat sopan sebagai salah seorang pemimpin perusahaan. Lalu melirik ke tempat Ben dan Cantika duduk. "Terus ini masih siang bolong di kantor. Yaa, meskipun gerimis sih. Gue tau cuaca mendukung buat cudling and *fucking out, or whatever, gue pahaammm bangeettt! Tapi gue ada perlu sama lo, Ben."

(*Theo membuat pelesetan untuk making out)

Untungnya Theo datang di waktu yang tepat. Saat momen pangku-pangkuan mereka sedang berlangsung. Malu, tapi Cantika tertolong karena bisa mengakhiri suasana yang seperti menyidangnya itu.

Buru-buru Cantika beranjak dari paha Ben selayaknya tentara yang siap perang. Berdiri salah tingkah merapikan pakaian, namun kemudian tersadar dan berhenti. Buat apa dia merapikan pakaian? Bikin orang lain yang melihatnya salah paham!

Tanpa berkata apa-apa, Cantika pergi meninggalkan kantor Ben sambil mengusap pipi basahnya. Dia tidak ingin menambah rumor lagi. Sebelum kembali ke ruangan, Cantika memilih berbelok ke toilet dan mencuci muka.

Namun kulit putih Cantika tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merah dan mata sembabnya. Begitu tiba di ruang arsitek, Jovino melihat Cantika dan reaksinya kaget.

"Kak Ben beneran marah, Ra?"

Cantika menggeleng pelan sambil memaksakan seulas senyum, tapi dia malah ingin menangis lagi. Salah paham dan tenggat waktu. Jika Cantika tahu itu dari awal, memangnya akan ada yang berubah?

***

"Gue dapat laporan, katanya klien yang renov rumah di Taman Surya minta revisi desain. Dia minta kolam di pindah lantai atas, lantai dua mau dibuat full, lokasi kamar geser ke depan," ujar Theo menunduk untuk menunjukkan tampilan desain di iPadnya.

Dalam waktu singkat, Ben berubah menjadi mode kerja. Dia menjulurkan kepala untuk melihat tampilan desain yang ditandai oleh Theo. "Kalo dibikin kayak gitu space buat jendela jadi sedikit, lantai dua bakalan pengab dan gelap."

"Gue juga udah bilang," Theo menarik iPadnya. "Lo tau apa kata orangnya? 'Tinggal pasang lampu, taruh air cooler, hafff!" Kemudian menghempaskan diri di bangku seraya menyuarakan helaan napasnya lelah.

"Dindingnya bakal panas selama musim panas, berpotensi bau apek dan jamur. Satu-satunya cara ya bikin jalur keluar masuk angin yang lebih besar."

"Coba lo yang ngomong, deh."

"Lo aja. Kalo dia ngotot, ya terserah dia. Ikutin aja maunya dari pada pusing." Tatapan Ben kembali pada layar komputernya. Tidak ada tanggapan lagi dari Theo. Jadi Ben berpikir, diskusi mereka selesai sampai di sana.

Tetapi saat Ben melamun memandangi surat perjanjian Cantika, rupanya Theo tidak beranjak juga dari ruangannya. Theo kembali bersuara. "By the way ...."

Ben menunggu jeda dari Theo.

"She's married," lanjut Theo.

"Who?"

"Kiara Cantika. Dia udah married!"

"Mm-hm," jawab Ben singkat.

"Lo tau?" Theo menatap tak percaya. "Lo udah tau??"

"Iya."

"Lah, terus kalian ngapain tadi? Lo ngapain pangku-pangku istri orang, bangke?" tanya Theo, lengkap dengan gerakan tangan yang nyeleneh. "Gue nggak mau ya, kantor digrebek gara-gara ada orang yang nuntut lo karena jadi pebinor."

"Konyol! Pangku-pangkuan nggak ada hukumnya. Lagian itu cuma settingan."

"Settingan? Apanya yang settingan?" Theo mengubah posisi duduknya, mendengarkan dengan penuh penasaran.

"Pernikahannya. Cuma kontrak," papar Ben singkat.

"Lakinya turis?"

"Bukan. Anaknya Dito Wangsawardhana."

"Wow ... woow ...," gumam Theo. "Wooww ..." Kedua kalinya dengan nada takjub. "AsiaFood? Gue nggak nyangka saingan lo berat. Tapi ini apa? Nikahnya kontrak? Ada durasinya? Beneran ada yang kayak gitu??"

"Banyak nanya, kampret!"

"Masalahnya ini kedengeran impossible banget di kuping gue. Anak muda nikah kontrak, udah kayak sinetron apa novel aja. Alasannya apa? Keluarga mereka setuju?"

Ben tidak menjawab pertanyaan Theo. Jangankan soal keluarga mereka, Ben sendiri tidak tahu alasan Cantika memutuskan untuk menjalani rumah-rumahan dengan pria itu. Yang Ben tahu dengan pasti, ia masih punya kesempatan.

"Mungkin gue bisa denger alasannya tadi kalau aja nggak ada pengganggu yang masuk ruangan gue dan bikin dia kabur. Setelah ini gue harus mulai opening baru dan ngebujuk-bujuk lagi buat mengorek informasi, all thanks to you."

Theo terbahak sambil memegangi perutnya. Dia memang sengaja menginterupsi karena tidak mau sahabatnya berbuat kelewatan. Sebagai seorang teman, Theo merasa wajib mencegahnya. Ben boleh saja berengsek dan bermain sana-sini dengan perempuan, tapi jangan sampai melakukan kesalahan dengan wanita bersuami.

"Sorry, sorry ...," kata Theo setelah berhenti tertawa. "So, what is your plan?"

Suara rinai hujan mengisi jeda di antara mereka. Ben memutar bangku sedikit untuk menoleh ke jendela dan menjawab, "Going outside. A bottle of beer or glass of Chivas, maybe."

Sebelah alis Theo terangkat. Memasang tampang sinisnya. "Elo? Sebotol-segelas?? Lihat aja besok, keributan apa lagi yang bakal dibuat si *drunkard ass ini!"


====

Sebelum kalian baca Part 58, ada hidden part lagi yang gak bisa UP di sini karena terlalu adult, eksplisit, kasar, atau apa pun yang kalian sebut.
Jadi seperti sebelumnya, cuma bisa aku UP di Karyakarsa.

Hidden Part ini sangat berkaitan sama part 58. Jadi biar gak bingung dan merasa plot hole, mampir dulu baca part tersembunyinya.

See youu ...

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang