66| Restart

33 3 0
                                    

Udah siap berpisah dengan Ben dan Cantika?

Udah siap berpisah dengan Ben dan Cantika?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===


Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.

Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.

Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.

Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.

"Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan mereka, aku pikir setelah ditolak bakal berhenti. Apalagi dengan keadaan aku yang waktu itu lagi hamil, orang aneh mana coba, yang nekat ngikutin bumil?

"Kalau aku bilang udah nikah pun, mereka pasti percaya setelah lihat perutku. Tapi, ada satu orang yang masih terus datang ke kafe. Dan yang mengerikannya, dia tau aku nggak bersuami. Ini sebelum aku tinggal sama Sheril."

Cantika menceritakan satu persatu kejadian perlahan setiap mereka bertemu sepulang kerja. Ben selalu menunggu Cantika seperti biasa. Duduk di sudut kafe sambil membawa laptop dan iPad-nya.

Rekan-rekan kerja Cantika tidak lagi memasang benteng siaga pada Ben karena ia sudah menjelaskan bahwa mereka saling kenal. Tanpa diberitahu, mungkin sebagian dari rekan-rekannya bisa menerka hubungan rumit mereka.

"Xavier," cerita Cantika kali ini. "Setelah tau dia cowok, aku kasih nama Xavier. Tapi ... nggak lama kemudian dia harus pergi."

Ben menunggu Cantika melanjutkan cerita. Mereka duduk di sofa kamar hotel tempat Ben menginap. Cantika memicingkan mata curiga saat tahu letaknya dekat dari kafe tempatnya bekerja. Lalu Ben mengakui kalau Theo yang pertama kali melihat Cantika di sana.

Cantika mengangkat cangkir tehnya, menghirup asap yang mengepul sebentar sebelum menyesap pelan tehnya. "Mungkin ini karma buatku yang udah bermain-main dengan hukum alam. Mulai sekarang aku nggak mau berbuat onar lagi. Bukan demi siapa-siapa, tapi demi diriku sendiri. Sedih rasanya kehilangan anak.

"Tiba-tiba aku keingat, waktu Viona gugurin kandungannya. Gimana perasaan Viona? Dia mungkin tersiksa sama pilihannya." Wanita itu menatap kosong ke depan sambil meletakkan cangkir di meja.

"Bukannya kamu benci dia?"

"Aku benci sifatnya, tapi anak itu nggak salah. Seorang anak harus menanggung dosa orang tuanya, menurutku itu nggak adil." Cantika memberi jeda dan menatap Ben. "Makanya, ayo kita selesaikan di sini, Ben. Kamu udah dengar semua yang mau kamu dengar. Udah saatnya kita berhenti. Sebelum kita melakukan kesalahan lebih banyak lagi. Sebelum kita menghancurkan satu sama lain. Aku dan kamu, setiap kali kembali, nggak ada takdir baik buat kita."

Bola mata biru itu membelalak tidak percaya. Ben kira, dengan pertemuan mereka beberapa hari ini, Cantika mulai luluh dan menerimanya. Ben yakin, Cantika masih merasakan perasaan yang sama sepertinya. Ben tahu betul dari tatapan mata Cantika, bahwa wanita itu tidak membencinya. Tapi, Cantika malah memberinya kejutan di akhir.

"Mau berapa kali pun itu, aku bakal tetap mencoba. Seribu kali pun pisah, aku bakal menghampiri kamu lagi. Jadi, jangan pernah minta aku berhenti."

Sungguh terasa konyol.

Dulu, Ben menganggap cinta sejati adalah omong kosong belaka. Hingga kini pun ia masih tidak mempercayai cinta. Tapi setiap melihat Cantika, ada keyakinan lain yang membuatnya tidak ingin mundur. Ingin berada di sisinya. Ingin melindunginya. Ingin melihat masa depan di mana ada Cantika di dalamnya.

"Aku ... capek," ucap Cantika menatap Ben dengan mata tergenang. "Aku terlalu capek untuk memulai lagi. Aku takut nggak kuat buat hadapin masalah selanjutnya. Apa kamu nggak capek?"

Mata biru milik Ben menyelami bola mata indah Cantika sejenak. Menatapnya lurus dan dalam. Sama sekali tidak ada niatan dalam dirinya untuk berpisah. Ben bertekad memperjuangkan Cantika demi masa lalu dan masa depan mereka.

"Kamu nggak akan sendirian lagi. Ada aku, Can." Diraihnya punggung tangan Cantika. Ben menggenggamnya erat seolah tak akan melepasnya lagi. "Aku akan coba ngelakuin apa pun yang aku bisa demi kita."

Cantika mengalihkan pandangan ke arah lain. "Aku nggak mungkin mendadak berhenti dari coffeeshop."

"Kamu bisa urus pelan-pelan," jawab Ben. Mengelus rambut hitam Cantika dengan satu tangan yang tidak menggenggam tangannya.

"Aku nggak mau pulang ke sana."

"... Nggak masalah. Kita bisa tinggal di mana pun yang kamu mau."

"Aku ... mungkin ... sulit untuk punya anak lagi."

Sunyi.

Beberapa detik Cantika menunggu, tidak ada respons dari Ben. Inilah salah satu yang ditakutkan Cantika. Ben datang hanya karena anaknya.

Tiba-tiba, Cantika merasakan Ben melepas genggamannya dan beranjak dari sofa. Hatinya carut-marut. Perutnya yang sejak tadi tegang terasa mual. Cantika menggigit bibirnya.

Benar.

Mana mungkin seorang pria menginginkan perempuan yang tak utuh? Yang mungkin kehilangan kodratnya sebagai seorang wanita.

Cantika tersentak dan membuka mata ketika merasakan sesuatu. Ben turun dari sofa untuk berlutut di hadapannya. Membungkuk dalam dan membenamkan wajah di antara kedua lutut Cantika.

"Maafin aku," kata lelaki itu. Suaranya terdengar perih dan susah payah. "Maafin aku."

"Maaf ..." Lutut Cantika terasa basah saat Ben memeluk kakinya. "Gara-gara aku ...."

Seorang Bennedict Soren. Berlutut meminta maaf. Memeluk kaki wanita. Dalam kurun waktu sebentar, Cantika melihatnya menangis untuk kedua kali.

Jika Ben membuat alasan dan pergi, Cantika bisa dengan mudah membenci dan melupakannya. Namun, lelaki itu menangis berlutut di depannya. Membuat air mata Cantika turut membanjir. Semakin lemah tekadnya untuk memutus apa yang ada di antara mereka.

Tangan Cantika terangkat ragu. Ia mengepalkannya di udara. Bisakah ini diperbaiki? Sanggupkah Cantika menghadapinya saat masalah lain menerpa?

Pada suatu waktu, Ben adalah orang yang menggoreskan luka paling besar. Melubangi hatinya sedemikian rupa. Namun ironisnya, kekosongan itu hanya bisa terisi oleh orang yang menyebabkan kesakitannya. Meski Cantika telah menyangkal ribuan kali, perasaan itu masih tertinggal di sana. Terbungkus rapi dalam satu ruang.

Cantika tidak dapat memungkiri, kehadiran Ben adalah sesuatu yang dibutuhkannya. Terbukti dari kepalan tangannya yang terbuka, kembali terulur merangkul Ben.

Sekali lagi.

Sekali lagi saja Cantika memohon pada Sang Pencipta, untuk memaafkan mereka dan menyambut uluran tangan Ben. Memperbaiki yang telah rusak bersama.

====

Kebobrokan dalam keluarga itu seperti lingkarang setan yang gak ada ujungnya. Kalau seseorang dalam keluarga itu gak berupaya buat memutus rantai tersebut dan melakukan perubahan, trauma dan segala masalah akan jadi warisan turun temurun.

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang