11| Kamarnya Cuma Satu

160 6 0
                                    


Hai, haii... Kayaknya weekend ini aku bakal sibuk. (Sok sibuk banget ya?)

Jadi aku update hari ini buat mencegah utang.

Siapin mental buat baca ya.


=====


"Di mana otak kamu, hah?!"

"Ampun, Ma! Ampun! Sakiit ...." Cantika mengangkat kedua tangannya di depan wajah, demi melindungi diri dari rotan keras yang beberapa kali diayunkan ke arahnya.

Lengannya terasa perih, panas, sakit, dan berdenyut akibat sabetan rotan yang berkali-kali mendarat di permukaan kulitnya. Cantika tidak menyangka perbuatannya yang tidak seberapa itu malah mendatangkan hukuman dari ibunya separah ini.

Apa pun yang dikatakannya percuma. Wanita yang usianya memasuki akhir empat puluhan itu kini terbelalak marah, menarik satu pergelangan tangannya dengan kasar.

"Kalau tahu sakit, kenapa kamu malah bertindak kurang ajar?" Memaksa turun tangannya yang tetap pada posisi pertahanan.

"Kapan saya ajarin kamu jadi orang yang nggak tahu diri begitu? Jawab!!" Saking murkanya, kedua bola mata yang setiap hari tampak lelah itu seperti siap keluar dari tempatnya. Urat-urat halus berwarna merah pada lensa mata Arita terlihat lebih jelas dari biasanya.

"Kabur di tengah-tengah acara keluarga, nggak pamit dan permisi, nggak ada sopan santunnya sama sekali. Cuma bisa bikin malu!" Sekali lagi melayangkan gagang berbahan rotan yang dipegangnya ke badan Cantika.

"Ampun, Maa. Sakit ...," ringis Cantika. "Cantika minta maaf."

Satu hal yang disadarinya, meski dia meminta maaf memohon ampun sekali pun, wanita yang melahirkannya itu sama sekali tidak meredakan emosinya. Dia hanya ingin melakukannya sebagai bentuk pelampiasan.

Bukan Cantika yang menjadi sumber masalahnya di sini. Melainkan rasa tak puas dan geramnya yang terus menumpuk pada mendiang sang suami yang pergi lebih cepat mendahului mereka.

Terlampau cepat.

"Kalau nggak dikasih pelajaran, besok-besok kamu pasti membangkang lagi. Dasar anak nggak tahu diri! Siapa yang besarin kamu sampai sekarang, hah?"

Pergelangan tangan Cantika yang dicengkeram ibunya terasa hampir remuk. Besar amarah dan penyeselan ibunya menjelma jadi sebentuk kekerasan terhadap dirinya.

"Harusnya kamu bersyukur saudara-saudara saya masih ada belas kasih ke kamu! Kalau bukan mereka, siapa yang mau bantu saya? Siapa yang mau bantu kita waktu papa kamu bikin masalah? Dia nggak punya siapa-siapa! Dia cuma pembawa sial yang nggak punya keluarga!"

Setiap kali mendengar ibunya memaki dan menyalahkan sang ayah, hati Cantika serasa tersayat. Di tengah ringisan dan isak tangisnya, dia terus meminta maaf, berusaha menahan sakitnya.

Semua ini dilakukan Arita karena hanya dia yang dimiliki ibunya. Hanya dia yang nantinya dapat mengangkat derajat mereka berdua. Hanya dia satu-satunya yang akan menjadi tumpuan beliau kelak. Begitu pikir Cantika. Kali ini pun dia bersalah karena telah kabur tanpa mengatakan apa-apa.

Ibunya benar, dia harus tahu diri. Sosok wanita yang tengah memukul dan memarahinya dulu tidak seperti ini. Cantika harus maklum. Kepergian ayahnya benar-benar membuat ibunya terpukul dan menjadi stres berat.

Tidak apa-apa.

Cantika hanya perlu bertahan sebentar sampai dia bisa membuat ibunya kembali seperti dulu. Dalam hati, Cantika terus berusaha menguatkan dirinya.

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang