05| Taruhan

216 16 5
                                    


"Yakin nggak mau makan?" tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street.

Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. "Nggak. Masih kenyang."

"Dessert atau minum?" tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut.

Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. "Kenapa? Kakak mau traktir?" tanya Cantika gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya.

Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. "Iya, pesan aja."

"Aku mau jus aja kalau gitu."

Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat.

Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil eyelash extension-nya masih rapi. Hidungnya mungil dan mancung seperti Barbie. Bibirnya? Jangan ditanya, bagian itu adalah salah satu yang paling menarik perhatian Ben sejak awal mereka bertemu.

Jika harus mendeskripsikan Cantika dalam satu kata, yang terpikirkan oleh Ben adalah Samoyed. Iya, ras anjing Samoyed yang putih, cantik, elegan, dan sulit ditaklukkan.

Tetapi semakin dilihat, entah kenapa Ben justru merasa perempuan ini tampak tidak asing untuknya. Padahal Ben ingat betul pertemuan pertama mereka saat pagi kelam itu. Apakah dia pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya?

Ben kemudian tersadar, dia belum tahu nama gadis di depannya.

"Kok anak-anak manggil kamu 'Kak Can'?" tanya Ben, memandangi wajah memikat itu. "Memang nama kamu siapa, sih?"

Jari Cantika yang baru saja berselancar di atas layar ponsel menjelajahi media sosial seketika berhenti. Memasang raut super jutek, dia mengangkat kepala sebentar. "Modus!"

Ben malah mendengkus geli sambil lalu bergumam, "Oke, kalau gitu biar aku tebak. Candra, Canda, Candi, Candu, Can ... tik?"

Cantika sempat membeku, tapi lanjut menggulir beranda media sosialnya.

"Kamu Cantik?" gurau Ben sembari meneliti ekspresi wajah gadis itu.

"Apa sih, maunya cowok ini?!" Cantika tidak segan-segan menunjukkan raut terganggu seperti itu. Tapi memang dasar buaya, kulitnya tebal sekali. Ben bahkan tidak peduli meski sejak tadi diabaikan. Dia tetap nyerocos.

"Wow, bener ya, kamu Cantik?"

Bola mata Cantika bergulir, melirik galak pada Ben. "Bukan!"

Obrolan mereka terpaksa harus terinterupsi karena pramusaji datang membawa pesanan. Keduanya mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji meninggalkan meja mereka. Lalu Ben kembali mengalihkan fokus pada gadis cantik di hadapannya.

"Terus, siapa dong, nama kamu?" Ben mengambil sendok dan garpu yang dibawakan terpisah, mulai menyendok makanannya. Dia masih terus berusaha meski kemarin sempat menerima hinaan.

Jarang sekali Ben merasa setertarik ini pada seorang perempuan. Biasanya dia hanya menggoda perempuan yang sekiranya menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padanya lebih dulu, demi menjalankan misi utama untuk memisahkan diri dari Viona. Namun dengan gadis ini, ada sesuatu yang membuatnya terus maju. Tentu saja Ben tidak memungkiri bahwa hal pertama yang dilihatnya adalah penampilan secara fisik.

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang