"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan."
"Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee."
Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...
Cantika melepaskan lengan Miko untuk meloloskan sepatu dari kakinya dan meletakkan ke rak sepatu. "Kasian kamu. Capek-capek dobel kerja, masa disuruh siapin sarapan juga di rumah. Sekali-sekali aku aja, kan aku istrinya."
Miko juga melakukan hal serupa. Tapi saat ia ingin mengangkat sepatunya, Cantika sudah mengambil alih dan memasukkannya ke rak lebih dulu.
"Tau nggak," kata Miko mengusap wajah dengan sebelah tangannya. "Barusan kamu bikin aku seneng."
"Karena beresin sepatu kamu?"
Miko menggeleng seraya tersenyum. "Karena pengakuan kamu. Aku seneng, kamu mulai mempertimbangkan hubungan kita. Aku seneng kalau kamu mau sungguhan jalanin pernikahan ini."
Dengan wajah bersemu, Cantika membuka mulut tanda mengerti, dan menggaruk pelipisnya salah tingkah. Kenapa Miko selalu saja mementingkan kenyamanannya lebih dulu? Kenapa Miko menginginkan pernikahan sungguhan dengannya?
Miko tidak tahu, betapa jahatnya Cantika sebagai seorang istri, apa yang sudah dilakukan istrinya dengan sang mantan. Bagaimana Cantika bisa tetap berpura-pura tersenyum di depan Miko, padahal dia baru saja berciuman dengan lelaki lain.
Miko tidak tahu.
Kalau tahu, Miko pasti tidak akan tersenyum seperti sekarang. Laki-laki itu akan marah. Kecewa. Membentaknya. Atau yang lebih parah, mengusirnya.
"Aku ... takut ngecewain kamu, Mik. Aku takut nggak bisa memenuhi ekspektasi kamu."
"Nggak ada rumah tangga yang sempurna, Can. Aku, kamu, kita sama-sama baru pertama kali jalanin ini. Wajar kalau kita mengalami kesulitan. Tapi aku minta, kalau suatu saat ada masalah, kamu nggak pendam sendirian. Bilang ke aku apa pun itu, biar kita cari solusinya berdua."
Bukan. Bukan itu yang dimaksud Cantika. Tetapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya, Cantika tersenyum dan mengangguk sebelum masuk ke kamarnya.
Bukan hanya sekadar jahat, Cantika merasa seperti jalang tukang selingkuh. Dia menunggu Ben menciumnya lebih dulu. Kemudian balas mencecap bibir pria itu. Kalau bukan karena Ubay, si penjaga kantor yang sedang berkeliling memeriksa ruangan, mereka mungkin tidak akan berhenti.