55| Main Api

90 5 0
                                    


===

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===


"Terus, apa pilihan kamu selanjutnya?" tanya Ben hati-hati. Dia masuk ke ruangannya, menutup pintu di belakangnya, dan berdiri di balik meja, menatap ke luar jendela. Ketika sedang bersama Cantika tadi, Viona menelepon. Memberitahu hasil dari keputusan akhirnya. Tentang hubungannya dengan Romy. Tentang janin yang dikandungnya.

"Aku ... nggak bisa pertahanin anak ini." Viona berhenti sejenak. Samar-samar, Ben bisa mendengar wanita itu menelan isakkan. "Romy nggak akan peduli. Papa-mamaku nggak bakal terima. Meski aku bilang bukan anak kamu, tapi mereka pasti malah desak kamu. Nggak ada pilihan lain, Ben. Nggak ada pilihan lain." Suara Viona begitu pilu. Wanita yang dibencinya kini membuat Ben iba.

Ben memejamkan mata erat. Mencengkeram pinggir mejanya. "Kapan?" tanyanya dengan nada berat. "Kapan kamu mau ...." Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Aku udah buat janji besok."

"Besok??" Ben cukup kaget mengetahui Viona mengambil keputusan secepat itu.

"Lebih cepat lebih baik," lirih Viona. Ada konsekuensi di setiap tindakkan. Dan Viona yakin ini adalah ganjaran untuk perbuatannya.

"Kamu pergi sama mama kamu?"

"... Udah aku bilang, kalau orang tuaku tau, pasti kamu yang diganggu."

Perasaan Ben ikut kacau dan hancur. Kendati Viona telah mengkhianatinya dan banyak membuat masalah, semua itu bukan tanpa alasan. Ben sekarang tahu, penyebab Viona melempar tantrumnya adalah karena penyesalan yang tak bisa dihapusnya. "Aku temenin kamu besok."

"Nggak perlu, kamu pasti sibuk. Aku bisa sendiri."

"Setidaknya harus ada seseorang di samping kamu. Aku nggak bisa biarin kamu lewatin masa sulit ini sendirian."

"Makasih, Ben."

"Kasih tau aku jam berapa, besok aku jemput."

Tak lama setelah Ben menyelesaikan panggilan, ketukan di pintu ruangannya terdengar. Ben menolehkan kepala, baru saja ingin mempersilakan masuk. Tetapi rupanya si tamu sudah berdiri di dalam ruangan. Dan satu-satunya orang yang bisa berbuat begitu hanya Theo.

"Apa?" ketus Ben.

"Kenapa?" Theo bicara bersamaan.

Ben mengembuskan napas panjang dari mulutnya, menjatuhkan diri di bangku sambil memijat kepala.

"Ada apa?" tanya Ben lagi.

"Lo kenapa, kok tambah lecek aja? Kalo ada setrika di sini, kayaknya udah gue setrika muka lo. Nggak tahan lihatnya."

"Ngapain ke sini?" Ben mengulang pertanyaannya tanpa menggubris lelucon Theo.

"Hmm ... lagi galak rupanya. Mau ingetin, besok arahan buat anak magang ikut *tender pertama kalinya. Nggak langsung dilepas, sih. Paling nggak mereka bisa siapin presentasi dulu dan kita cek."

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang