29| Pembuktian

75 3 0
                                    

Pengin bikin collage kayak di Annoying Roommate, tapi belum sempett.

Hahahah ... Sekian curhat ga jelasnya.

Btw, kalian yang baca sampai part ini, udah kasih bintang belom buat part 1 - 28??

Biarpun nulis cerita itu hobi, tapi butuh waktu dan tenaga loh.

Kalau kalian udah baca ceritanya, setidaknya tinggalkan jejak dengan vote dan komen. Kalau suka ceritanya, kalian bisa bantu sebarin ke temen-temen, atau minimal save di reading list kalian.

Bukan di cerita aku aja, tapi berlaku buat semua cerita yang kalian baca ya.

At least, it's the way to show a small token of appreciation ke para penulis di WP.

Thank youu buat yang sudah voteee...

===


"Gimana aku bisa percaya kamu?"

Ben sedikitnya sudah menduga, Cantika meragukan ceritanya. Ia mengambil ponselnya, memijat layar sentuh itu sejenak sebelum menyalakan mode pengeras suara.

Cantika menatapnya bingung. Tetapi Ben mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan agar gadis itu tidak bersuara. Pada nada sambung ketiga, panggilan itu diangkat.

"Ada angin apa kamu nelepon aku?" Suara seorang wanita, sedikit melengking dan bernada sinis.

"Aku peringatkan kamu, jangan pernah ikut campur urusanku. Jangan pernah, sekali pun, menampakkan muka kamu di depan Mama Ana lagi."

Alis Cantika terangkat sebelah ketika mendengar panggilannya merujuk pada 'Mama Ana'. Kenapa Ben membubuhkan nama pada sebutan ibunya? Bukan mengatakan kata kepunyaan seperti 'mamaku'. Apakah wanita bernama Viona sudah menyebut ibunya Ben dengan 'Mama'?

"Are you drunk?" dengkus wanita itu. "Nelepon aku tiba-tiba cuma buat omong kosong?"

"Ini bukan omong kosong. Rasanya kata-kata aku terakhir kali udah sangat jelas. Kita nggak bakal nikah. Nggak akan pernah!"

"Oh ya? Tapi Tante Ana mau aku nikah sama kamu, gimana dong? Aku tau, psosisi kamu—"

"No! Sampai mati pun aku nggak bakal sudi berhubungan sama perempuan kayak kamu lagi." Setelah kalimat dingin dan menusuk yang dilontarkan Ben, dia menutup telepon tanpa menunggu Viona bicara lebih lanjut. Sebelum Cantika mendengar lebih jauh pembicaraan mengenai keluarganya, Ben memilih menghindarinya.

"See? Kamu dengar sendiri kan? Hubungan aku sama dia nggak berjalan baik. Aku udah putus sama dia sejak lama."

"Tapi kalian masih saling dikaitkan."

Untuk yang satu ini Ben tidak bisa mengelak. Ia menghela napas berat, meletakkan ponselnya ke meja dengan kasar. Kepalanya mengangguk-angguk, ekspresinya penuh beban. "Ya, kamu benar. Sorry ...."

Ganti Cantika yang menghela napas memerhatikan kelakuan pria dewasa satu ini. Cantika kira, seiring bertambahnya usia, orang dewasa seperti Ben dapat menyelesaikan segalanya sendiri tanpa campur tangan keluarga. Cantika kira, perjodohan hanya ada dalam cerita-cerita film atau novel.

"Kenapa kamu bilang sorry lagi?"

"Karena aku melibatkan kamu."

Orang lain mungkin beranggapan, seharusnya Ben bisa lebih tegas sejak awal dalam mengakhiri hubungannya dengan Viona. Namun masalah ini bukan lagi hanya tentang mereka. Keluarga Romy, keluarga dari istri Romy, keluarga Viona, juga ibu tiri Ben akan terkena imbasnya.

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang