"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan."
"Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee."
Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
===
Ben sibuk. Sangat sibuk. Sampai dia berharap punya dua tubuh untuk bekerja sana-sini. Kantornya membutuhkannya, kantor Bary juga membutuhkannya. Akhir-akhir ini pekerjaan menumpuk. Di suatu waktu kadang dia merasa seperti pegas yang ditarik kencang dari kedua sisi.
Ben menghempaskan diri di bangku kerjanya yang besar, memijat kepala pelan. Bahkan waktu untuk tidur pun terlalu tipis. Diliriknya ponsel yang tergeletak di meja.
Sebulan.
Sejak saat itu dia tidak bertemu Cantika lagi. Wanita itu tidak pernah datang ke rumahnya. Setiap kali Ben mencoba menelepon, nomornya selalu dialihkan. Setiap kali memikirkan Cantika, rasanya dia ingin mendatangi langsung perempuan itu. Tapi, Ben tidak pernah tahu di mana tempat tinggalnya. Mereka tidak pernah bertemu secara kebetulan lagi seperti dulu. Rasanya sepi.
Ben melipat kedua tangan di depan wajahnya. Melirik telepon kabel di atas meja. Dia juga sudah mencoba menghubungi Cantika dengan telepon kantor. Namun hasilnya tetap nihil. Setelah pekerjannya lebih renggang, Ben akan mencari Cantika. Mungkin dia bisa datang ke studio Olin dan bertanya.
Tepat saat itu, dering ponselnya membuat Ben tersentak dan buru-buru menjawab panggilan dengan bersemangat.
"Halo."
"Bennedict." Namun suara yang terdengar adalah suara berat yang sedikit serak. Hanya satu orang yang sering memanggil nama panjangnya.
"Ya, Pa?"
"Need your help. Sekalian prepare buat ngenalin kamu ke high entrepreneur circle. Pelan-pelan kamu harus ambil bagian dalam bisnis kita."
Bisnis kita.
Ben memijat pangkal hidungnya mendengar dua kata tersebut, meringis tanpa suara. Ini artinya, pekerjaannya akan bertambah. Bahkan sebelum jam tidurnya bertambah. "Apa yang bisa Ben bantu?"
"Papa mau kamu yang datang menggantikan Papa ke suatu acara."
***
Jarum Breitling Transocean yang melingkar di pergelangannya menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit. Pertanda Ben harus segera cepat masuk ke gedung megah di depannya dan terpaksa menggunakan jasa Valet. Padahal, dia paling tidak suka orang lain mengendarai mobilnya. Tetapi Ben sudah terlambat lebih dari satu jam. Mau tak mau memberikan kunci mobilnya pada salah satu petugas Valet.
Ben menapaki jalan dengan terburu tanpa melihat papan informasi pemilik acara. Secara logika, gedung ini milik Asiafood. Tidak mungkin mereka membiarkan ada penyewa lain menggunakan gedung tersebut di hari yang sama dengan pesta keluarga Wangsawardhana.
Setelah mengisi buku tamu, Ben melewati gemerlap cahaya kebiruan jalan setapak di lorong menuju ballroom. Hiasan elegan serba putih menginterpretasikan hutan salju dalam negeri dongeng langsung menyambutnya.