Sumpah, dia merasa risih!
Setelah ikut terseret ke halaman rumahnya, Cantika langsung memasang benteng pertahanan penuh. Mengawasi Bianca dan Byana yang sedang bermain di halaman rumah pria asing dengan ekstra ketat supaya lelaki yang dipanggil Ben itu tidak berbuat macam-macam pada mereka.
Setelah apa yang ia lihat pagi itu, bisa saja lelaki bernama Ben ini juga seorang ped*fil. Jangan sampai dia tertipu oleh wajah tampan dan suara merdu lelaki itu. Jangan.
Byana dan Bianca betah mengelus makhluk berbulu lebat yang terikat. Tampaknya kedua anjing tersebut memang benar jinak. Mereka hanya duduk, menempel-nempel manja, dan menggoyangkan ekor saat Byana bermain-main dengan telinganya.
Tiba-tiba saja Cantika merasakan sesuatu. Sejak menjemput anak-anak tadi, dia sempat ingin ke toilet. Tapi harus menundanya karena takut Brian menunggu lama. Waktu pulang, dia malah lupa ke toilet dulu sebelum jalan-jalan dengan Byana dan Bianca. Akibatnya, sekarang dia malah kebelet!
Ya ampun, Cantika. Bisa-bisanya kebelet sekarang, batin gadis itu mengernyit tak nyaman. Meski jarak rumahnya dekat, dia tidak mungkin meninggalkan Byana dan Bianca di sini. Tidak dengan lelaki asing yang dicapnya sebagai orang maniak itu.
"Caca, Byan, pulang yuk!" ajak Cantika pada kedua bocah perempuan yang tengah asyik dengan mainan mereka.
"Pulang?" Bianca kemudian mendongak, melihat langit masih terang-benderang. Gadis kecil yang rambutnya sebatas pundak itu mengajukan protes halus. "Kan baru sebentar mainnya, Kak. Katanya boleh keluar sampai setengah enam?"
"Udah mau setengah enam," dusta Cantika.
Saat itu rupanya Bianca masih memakai jam pintar. Dia melirik benda yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya dan berceletuk, "Belum, Kak Can. Masih jam lima."
Sedangkan si pemilik rumah mendengus geli menahan senyum. Langsung dibalas lirikan tajam oleh Cantika.
"Kak Can." Byana memanggil pelan. "Kak Can lebih suka yang mana? Yang kecil atau yang besar?" Kali ini Byana bertukar dengan Bianca mengelus Kenzo, anjing besar yang menyerupai serigala.
Tanpa banyak berpikir Cantika segera berceletuk, "Yang besar."
Namun, sejurus kemudian menyadari pertanyaan itu seperti jebakan ketika Cantika melihat Ben melipat bibir dengan wajah memerah. Ingin rasanya Cantika mengobras bibir seksi yang mengerut itu supaya tidak bisa menertawakannya lagi. Tetapi panggilan alamnya sudah di ujung.
"Pulang dulu yuk, nanti kita keluar lagi ke lapangan. Kak Can kebelet," bisik Cantika, masih cukup bisa didengar.
Ben mengusap hidungnya dengan pungung jari telunjuk, menutupi kerutan di bibirnya yang dengan lancangnya masih menyimpan seringai. Entah kenapa perilakunya membuat Cantika jengkel.
Menyadari raut penuh kobaran api yang dilemparkan Cantika, Ben lalu mencoba memperbaiki suasana. Laki-laki itu berdeham dan berkata, "Kalau mau, bisa ke toilet di dalam."
"Iya, Kak Can sana ke toilet aja dulu!" seru Bianca mendukung usulan dari Ben.
Cantika ternganga tidak percaya, merasa seolah dikhianati. Bukannya membantu kakaknya, Bianca malah memihak orang lain.
"Byan masih mau main," tukas Byana ikut menimpali.
Semakin terdesaklah Cantika. Dia melirik Ben ragu-ragu. Takut meninggalkan anak-anak dengan pria yang memiliki reputasi buruk di matanya. Tetapi Ben yang mengerti tatapan jutek Cantika, segera berinisiatif.
"Ayo, saya unjukin toiletnya," ajak pria itu ramah.
Mau tidak mau, Cantika mengikuti Ben masuk ke area garasi. Menaiki tangga menuju lantai dua. Sepertinya bagian utama rumah itu terletak di lantai dua, sama seperti rumah Bianca dan Byana. Sebab Cantika langsung dapat melihat ruang tamu ketika tungkainya menapak anak tangga terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]
Romansa"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan." "Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee." Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...