14 | Berharap Lebih

118 7 0
                                    


"Ada yang bilang, ciuman pertama itu seperti permen kapas, manis dan lembut. Ada juga yang bilang, rasanya seperti menapak angkasa." 

--Si pencium andal


===

Ben sedang berkutat dengan software AutoCAD, sibuk menyusun bangunan sesuai sketsa, ketika suara nyaring dari ponsel memecah konsentrasi. Manik matanya bergulir ke arah layar ponsel yang menyala-nyala di bawah layar iMac-nya. Wajah pria itu berubah malas melihat sebaris nama yang tertera.

Pada awalnya Ben memutuskan untuk membiarkan panggilan tersebut. Tetapi si penelepon sama sekali tidak peduli dengan penolakannya. Dengan keras kepala mengulang panggilan seolah tahu Ben sengaja tidak menggubrisnya.

Mau tak mau, akhirnya Ben memutuskan untuk menekan tombol hijau tanpa berkata apa-apa. Hingga suara di seberang lebih dulu terdengar. "Ben, nanti malam kamu diundang dinner ke rumahku."

"Nggak bisa," jawabnya langsung dan singkat.

"Tapi Mami aku udah siapin semuanya." Suara gadis itu memelas di ujung sana. Namun, sama sekali tidak berpengaruh pada Ben.

"Nggak bisa. Aku lembur." Seenaknya saja ingin mengacaukan jadwal orang, keluh Ben dalam hati. Dia jelas lebih memilih bertemu Cantika dibanding perempuan ini.

"Kamu mau ngehindarin aku lagi?"

"Iya. Dan beruntungnya, aku memang nggak bisa."

Ben mendengar decakan sebal di ujung telepon. "Kenapa sih, kamu segitunya ke aku?"

Lagi.

Pertanyaan yang sama.

Ujung yang sama.

Seakan dia baru saja berbuat jahat.

Bicara dengan wanita ini selalu menguras dua kali lipat energinya. Terus mengulang membahas hal yang Viona sudah tahu jawabannya. Entah sampai kapan wanita itu mengibarkan bendera putih. Memberi penjelasan pada Viona membuat Ben amat lelah. Seperti bola basket yang memantul di dinding, begitu juga dengan interaksi mereka yang tidak lagi dua arah, sama-sama berbalik tak ada yang mau mengalah dan mendengarkan.

"Vi, dengar, ya. Aku nggak akan bosan-bosan ingatin kamu untuk satu hal ini. Kalau bukan karena Mama Ana dan Mami kamu, aku nggak bakal hubungin kamu lagi, Vi. Tolong cepetan sadar. Kita udah dari berabad-abad lalu selesai."

"Ben! Soal yang lalu aku udah berkali-kali minta maaf dan aku nyesel."

"Kalo kamu nyesel nggak gini caranya, Vi. Lepasin aku."

Harapan Ben sempat melambung, mengira kali ini Viona akan menyerah karena keterdiaman yang diberikannya. Namun, itu semua sebelum Viona kembali menjawab, "Nggak! Kamu masih pacar aku dan kita bakal nikah."

Baiklah. Sampai di sini rupanya masih belum ada yang berubah.

"Oke. Kalau gitu nikah aja sendiri sana. Aku nggak minat."

"Ben!"

"Aku masih banyak kerjaan, kututup teleponnya."

Ben melempar ponselnya ke meja. Kedua tangannya meremas rambutnya kesal sembari mengerang frustrasi. Dia tidak habis pikir, sampai kapan Viona akan bertahan seperti ini? Hubungan mereka sudah tidak lagi sehat. Sejak Ben muak dengan perlakuan Viona padanya dulu, saat itu perasaannya juga sudah terkikis sedikit demi sedikit dan habis tak bersisa.

Hanya karena dia menghormati sang ibu dan ibunya Viona, Ben tidak memutus komunikasi mereka. Dia sudah mencoba berbagai cara agar Viona menjauh, tidak ingin lagi mendekatinya. Tetapi sebesar rasa muaknya pada Viona, sebesar itu pula Viona menahannya.

FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang