===
"Dari kapan dia di sana?"
Olin gelagapan mendengar pertanyaan itu. "A-apa?"
"Om gue ada di tempat lo kan?" tanya Cantika datar, tidak menoleh pada Olin sama sekali. " Gue nggak sengaja lihat mobilnya di parkiran. Makanya gue nyelonong masuk."
Mata Olin yang sedang mengemudi saat itu langsung berkaca-kaca. Dia mengusapnya dengan sebelah tangan. "Thanks. Gue nggak tau gimana jadinya kalo nggak ada lo."
Ya. Olin berkata jujur. Baru kali ini ia merasa takut bersama seorang lelaki. Baru kali ini Olin benci disentuh seperti itu. Biasanya Olin tak ambil pusing jika uang berbicara. Terlepas dari itu, Olin benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
"Dia ngapain lo?" Suara Cantika melunak saat menyadari Olin yang biasanya tampak kuat dan selalu bisa mengatasi banyak hal, kini kelihatan rapuh dan mudah pecah.
Olin menggeleng dengan mata tergenangnya. "Lo keburu datang."
"Sorry."
"Kenapa—"
"Gue minta maaf mewakili keluarga gue."
"Nggak! Nggak sepatutnya lo yang minta maaf." Hati Olin terasa sangat sakit mengingat bagaimana Dany merendahkan Cantika. Kalau Cantika tahu keluarganya sebusuk itu, apa dia masih tetap menjadi anak baik dan penurut? Apa dia tetap akan tinggal di sana?
"Itu bukan kewajiban lo, Can. Lo juga nggak boleh merasa bersalah," ujar Olin lagi.
"Tapi dia om gue, keluarga gue."
Olin benar-benar ingin marah. Entah pada siapa. Dirinya yang tak beradab, Dany yang bajingan, atau Cantika yang terlalu bodoh. Olin tidak tahu lagi. Perasaannya carut marut.
"Gue bakal pindah dalam waktu dekat." Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Olin.
"Apartemen Miko?"
Kepala Olin menggeleng pelan. "Cari tempat lain. Sewa sementara, sambil cari agent buat urus penjualan unit gue." Tadinya, Olin berniat menyewa apartemen dekat unit Miko. Tapi setelah apa yang terjadi hari ini, dia tidak ingin melibatkan orang lain.
Bagaimana jika Dany menyelidikinya? Bagaimana jika Miko menjadi target pria itu? Ketakutan itu menghantuinya. Olin tidak sanggup menghancurkan orang-orang terdekatnya.
"Semoga itu yang terbaik," timpal Cantika tulus.
***
Pukul dua dini hari.
Seluruh badannya terasa pegal. Bahu dan lengannya kaku karena menyetir ke sana-ke sini. Ben tidak terbiasa memakai supir, tidak suka ketika orang lain mengemudikan mobilnya. Bagi Bennedict Soren, mobilnya seperti separuh jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN ROMANCE [TAMAT]
Romance"Orang macam apa yang minum kopi kayak gini? Hot coffee bukan, iced coffee juga bukan." "Oh, I prefer hot lady dibanding hot coffee." Sejak awal, pertemuan Cantika dan Ben bagai bencana. Sekuat tenaga Cantika berusaha menghindari pria yang berbahaya...