TSK-03

130K 7K 10
                                    

Liona menyelesaikan tugas-tugasnya dengan cepat sebelum merapikan buku-buku di dalam tas. Dengan gerakan terburu-buru, ia mengambil bekal yang telah disiapkannya tadi, memasukkannya ke dalam tas, dan menuju ke kamar mandi. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa sedikit bersemangat untuk ke sekolah—tempat yang dulu ia anggap sebagai salah satu neraka selain rumahnya sendiri.

Beberapa  saat kemudian…

"Makasih, Pak," Liona menyerahkan uang kepada supir taksi saat sampai di depan gerbang sekolah.

"Teh, ini kelebihan," sang supir berkata sambil menyerahkan uang kembalian.

"Ambil aja, Pak. Buat beli kopi nanti," ujar Liona dengan senyuman tipis, suaranya tenang.

Supir itu tersenyum lebar. "Makasih, yah. Hati-hati, Teh."

Jika ditanya dari mana Liona mendapat uang, jawabannya adalah dari hasil tabungannya yang sudah ia kumpulkan hingga cukup banyak. Dan jika ditanya dari mana uang yang ia tabung, jawabannya adalah dari pekerjaan paruh waktu yang ia lakukan hingga larut malam sepulang sekolah.

Tanpa berkata lagi, Liona melangkah menuju gerbang sekolah, mengabaikan tatapan sinis dari beberapa siswa yang jelas-jelas tidak menyukainya. Sudah terbiasa dengan atmosfer dingin seperti itu, ia tak peduli. Selama mereka tidak menyentuh atau mengganggu hidupnya, semua akan berjalan dengan semestinya.

Suara familiar terdengar dari arah parkiran. "Liona, tunggu!”

Liona menoleh dan melihat kakaknya, Arka, berjalan cepat ke arahnya. Alisnya terangkat sedikit, tapi ia menahan diri untuk tidak langsung bereaksi.

"Siapa yang ngunciin lo di toilet kemarin?" Arka langsung bertanya begitu sampai di hadapannya. Matanya serius, penuh kekhawatiran.

Liona mendesah, mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Ngapain nanya? Lo peduli?"

"Lo nggak apa-apa, kan?" Arka mengabaikan sarkasme itu, tetap dengan nada serius.

Liona tersenyum sinis. "Gue keliatan apa-apa?"

Arka terdiam mendengar respons dingin dari adiknya. Tak seperti biasanya. Dia maju, lalu menempelkan tangan ke kening Liona. "Lo nggak demam kan?"

Liona melirik sekeliling, memperhatikan beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Dia tahu gosip akan segera menyebar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sebenarnya saudara kandung.

Liona menepis tangan Arka dengan cepat. "Bersikap kayak biasanya aja, Bang. Acuh aja. Gue nggak butuh perhatian kalian. Cuma gue yang kena masalah kalau lo kayak gini. Ujung-ujungnya, gue yang bakal dibully lagi," kata Liona tegas, menatap kakaknya tajam.

Arka tampak tertegun. Dia tak menyangka adiknya bisa sekeras itu. "Lio, abang cuman—"

"Gak usah sok peduli!" desis Liona sebelum berbalik dan berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.

Arka hanya bisa terdiam. Semalam, Alden, kakaknya yang lain, memberitahunya bahwa salah satu temannya menemukan Liona terkunci di bilik toilet dengan pakaian basah.

***

Merasa mood-nya hancur, Liona memutuskan untuk bersembunyi di gudang sekolah. Ia melempar tasnya sembarangan, duduk, lalu menghela napas panjang.

"Belum setengah hari aja udah emosi gini, dasar Arka sialan." Mata Liona berkaca-kaca. Sejatinya ini masih tubuh Liona dan juga masih perasaan Liona.

"Arka tau darimana ya? Apa cowok yang semalem itu?" gumam Liona sambil meremas rambutnya. Dia tidak sempat melihat wajah cowok itu secara jelas.

***

Setelah berjam-jam bersembunyi di gudang, bel pulang berbunyi. Liona akhirnya keluar dari persembunyiannya, memutuskan untuk membolos dari sisa pelajaran hari itu.

"Woy!"

Liona mendongak dan melihat Ilona bersama Gama yang merangkul mesra gadis itu. Liona tersenyum tipis, penuh sinisme. Apa mereka masih layak disebut gadis?

Ilona mengulurkan uang seratus ribu. "Beliin gue makanan di luar, cepetan."

"Gue nggak mau," jawab Liona datar.

Ilona mendengus, lalu tertawa singkat. "Gue nggak nanya lo mau atau nggak, gue nyuruh lo. Sana, dua porsi. Buat gue sama Gama."

Liona memandang uang itu sejenak sebelum maju satu langkah dan mengambil uang dari tangan Ilona. Ilona tersenyum miring kemudian menghempaskan tangannya layaknya baru saja memegang kotoran.

Liona mendengus kemudian langsung menampar Ilona keras dengan tangan yang memegang uang. Uang itu melayang jatuh ke lantai bersamaan dengan suara keras dari tamparan itu. Ilona tertegun sejenak.

Plakkk

"SIALAN!!" teriak Ilona, hendak membalas tamparan itu, tetapi dengan mudahnya Liona menangkis.

Liona menatapnya tajam. "Denger, Ilona. Gue tau lo anak emas bokap gue sama nyokap lo. Tapi lo nggak ada apa-apanya. Lo cuma benalu yang hadir buat ngerusak keluarga gue."

Ilona mencengkeram bahu Liona, tapi Liona hanya balas menatap kosong. "Bukan lo yang benalu di rumah gue?" balas Ilona.

"Lo tinggal di rumah gue! Gue yang punya hak di sana!"

Liona menyeringai, lalu mencengkeram dagu Ilona kuat. "Rumah itu? Lo sebaiknya baca surat rumah itu baik-baik. Rumah peninggalan kakek gue itu atas nama siapa? Liona Hazel Elnara."

Ilona tertawa sinis. "Ayah udah ngasih rumah itu ke gue!"

"Percuma, suratnya tetap atas nama gue," balas Liona dingin. "Lo cuma numpang, dan lo berani ngaku-ngaku punya hak?"

Ilona terdiam, tatapannya semakin tajam.

Liona mengalihkan pandangannya ke Gama. "Kenapa lo? Marah?"

Gama balas menatapnya penuh kebencian. "Lo nggak kayak gini."

"Terus ekspektasi lo tentang gue apa?" tanya Liona tanpa takut.

"Lo murahan."

Liona terkekeh. "Murahan? Terus lo apa? Nggak ada harganya?"

Tanpa peringatan, Gama menampar Liona keras hingga bibirnya pecah. Namun, bukannya merintih, Liona malah menyeringai. Darah di bibirnya membuat adrenalin dalam dirinya naik.

"Liona!!" suara Arka tiba-tiba terdengar dari belakang. Dia melihat kejadian itu dan tanpa ragu melayangkan tinju ke wajah Gama. Arka memukulnya berkali-kali, sementara Ilona berteriak histeris.

"Sekali lagi gue liat lo sakitin adek gue, gue bikin lo mati," ancam Arka dengan suara dingin. Dia melirik Ilona. "Dan lo, bilang sama bokap lo. Kalo nggak bisa jagain Liona, mending lepas tangan. Nggak becus!"

Setelah Ilona dan Gama pergi, Arka mendekati Liona. "Mana yang sakit?" tanyanya lembut.

Liona menggeleng pelan. "Nggak ada."

"Bibir lo berdarah, Lio," ujar Arka, khawatir.

Liona berdesis setelah mengusap bibirnya kasar. "Udah biasa. Dibawa tidur juga sembuh."

Arka menatapnya sendu. "Maafin abang, ya?"

Liona terdiam sesaat, kemudian bertanya, "Kenapa lo belum pulang?"

"Niatnya mau ngajak lo ke rumah sakit jenguk bang Alden."

"Sakit apa dia?" tanya Liona, suaranya tenang.

"Kecelakaan," jawab Arka singkat.

"Oke, ayo."

"Serius?" Arka memastikan.

"Iya," balas Liona dengan tatapan malas.

#Tbc

Follow ig: @wiwirmdni21
Follow akun wattpad author!

VOTE + SPAM KOMEN
Supaya semangat update 🔥🔥🔥

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang