TSK-24

88.3K 4.3K 28
                                    

Vote duluuuuuuu🫂

Helaan nafas berat terdengar. Seorang lelaki memandang kota dari lantai teratas gedung dengan wajah tanpa ekspresi.

"Arion," panggil seseorang dari arah belakang.

Lelaki itu tetap bergeming. Mengabaikan panggilan tadi dan hanya fokus pada perhatiannya. Namun tangannya mengenggam kuat pembatas jendela dengan kuat. Seperti mencoba meredam amarahnya.

Orang yang memanggil Arion tadi akhirnya mendekat, berhenti beberapa langkah di belakangnya. "Kau tahu, tidak ada gunanya menyimpan semuanya sendiri," kata suara itu lagi, lembut namun tegas.

Arion tetap tidak beranjak dari posisinya. Matanya masih terpaku pada kelap-kelip lampu kota yang terlihat seperti lautan bintang buatan di bawah sana. Tapi ada yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, seolah memendam perasaan yang begitu dalam hingga tak terucapkan.

"Aku tahu kau marah," lanjut suara itu, kali ini dengan nada yang sedikit lebih menekan. "Tapi, Arion, kalau kau terus seperti ini, kau akan menghancurkan dirimu sendiri."

Akhirnya, Arion menarik napas dalam, namun kali ini napas itu terdengar lebih seperti erangan tertahan. Matanya terpejam sesaat sebelum dia melepaskan genggamannya dari pembatas jendela. Dia berbalik, menatap sosok yang ada di belakangnya. Ada kilatan yang hampir tak terbaca di matanya—campuran antara kepedihan, kemarahan, dan ketidakberdayaan.

"Ayah," ucap Arion dengan suara yang rendah namun penuh emosi. "Aku... tidak bisa memaafkan diriku sendiri."

"Kematian Elara ibumu bukanlah salahmu-"

"Tetap saja..." potong Arion.

"Kamu percaya takdir?" tanya Ayahnya. Pria itu menatap putranya dengan mata sayunya.

Arion terdiam, menatap ayahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Pertanyaan tentang takdir membuatnya kembali merenung, membiarkan kata-kata itu bergema dalam pikirannya. Takdir, sesuatu yang pernah ia percayai, tapi sekarang hanya terasa seperti konsep yang hampa.

"Aku pernah percaya pada takdir," jawab Arion akhirnya, suaranya terdengar berat. "Tapi jika ini takdirku—kehilangan Ibu—aku tidak tahu lagi harus percaya pada apa."

Ayahnya mendekat, menyentuh bahu Arion dengan lembut. "Takdir memang kadang kejam, Nak. Tapi itu bukan alasan untuk membenci diri sendiri. Kehilangan ibumu adalah sesuatu yang tak bisa kita kendalikan. Takdir memang sudah menuliskan jalannya, tapi bagaimana kita menghadapi itu... itulah yang bisa kita pilih."

Arion menunduk, matanya terpejam. "Aku hanya ingin bisa melindungi orang-orang yang aku sayangi... Aku gagal melindungi Ibu, Ayah. Bagaimana kalau aku gagal lagi?”

***

Liona menghela nafas jengah. Sikap teman sekelasnya langsung berubah ketika mengetahui jika dia bersaudara dengan Arka.

Gadis itu terkekeh sinis. "Dasar muka dua,"

Liona melangkah keluar dari kelas dengan langkah tegas, berusaha menjauh dari tatapan penasaran dan bisikan-bisikan yang mulai terdengar di belakangnya. Dia tahu persis apa yang sedang dibicarakan teman-temannya—betapa beruntungnya dia dianggap hanya karena dia adalah adik dari Arka, salah satu siswa paling populer dan disegani di sekolah.

"Sial sekali." gumamnya pelan, merasa muak dengan kemunafikan di sekitarnya.

Sebelumnya, Liona jarang mendapat perhatian khusus. Tapi sekarang, seolah-olah semua orang tiba-tiba ingin mendekatinya hanya karena koneksinya dengan Arka. Dia bisa merasakan perubahan sikap yang begitu jelas—senyuman palsu, pujian yang terdengar dipaksakan, dan percakapan yang lebih terasa seperti upaya mendekati Arka lewat dirinya.

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang