TSK-42

63.8K 3.2K 255
                                    

Vote dulu eee

Liona duduk di ranjang rumah sakit, wajahnya terlihat pucat meskipun sorot matanya tetap tajam. Beberapa perban melilit lengannya, dan sedikit noda darah masih terlihat di antara perban itu. Dia memandang keluar jendela, memperhatikan hujan yang turun dengan deras, seperti mencerminkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya.

Di sampingnya, Arion berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya penuh kecemasan. Tatapannya tidak pernah lepas dari Liona, memastikan bahwa dia tetap baik-baik saja meskipun luka-luka itu terlihat lebih serius daripada yang dia duga. Dia sudah cukup mengenal Liona untuk tahu bahwa gadis itu sering menutupi rasa sakitnya, berpura-pura tidak ada yang terjadi.

"Liona, udah gue bilang, lo harus di rawat," kata Arion, suaranya serak namun halus. "Luka itu nggak bisa dianggap enteng. Lo bisa kena infeksi atau lebih parahnya lagi kalau nggak dirawat dengan benar."

Liona menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit di lengannya terus berdenyut. "Gue baik-baik aja, Arion," balasnya dengan nada datar. "Luka ini bukan masalah besar. Gue pernah ngalamin yang lebih buruk."

Arion mengerutkan kening, tidak senang dengan jawaban Liona. "Bukan masalah besar? Liona, lo hampir pingsan tadi! Kalau gue nggak maksa lo kesini, siapa yang tau apa yang bakal terjadi?"

Liona memalingkan wajahnya dari jendela, menatap Arion dengan mata yang sedikit melembut. "Gue tau lo khawatir, tapi gue udah biasa sama semua ini."

Arion menghela napas berat, mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. "Udah gue bilang, Hazel. Berhenti ngomong kayak gitu."

Liona menghela nafas panjang. "Berapa lama aku harus disini?" tanyanya dengan dokter yang sedang merawat lukanya.

"Lukamu parah, tidak cukup sehari. Kamu harus tinggal di rumah sakit sekitar 3 hari untuk pengecekan lukamu."

Liona mengerutkan kening mendengar jawaban dokter. Tinggal di rumah sakit selama tiga hari bukanlah sesuatu yang ingin dia lakukan. Dia merasa tidak nyaman berada di sana, apalagi dengan banyak hal yang masih harus dia lakukan di luar sana.

"Aku benar-benar tidak perlu tinggal selama itu," bantah Liona, menatap dokter dengan mata tajam. "Aku bisa merawat lukaku sendiri di rumah."

Dokter itu, seorang pria paruh baya dengan rambut abu-abu dan wajah yang sabar, menatap Liona dengan tegas namun lembut. "Aku mengerti kekhawatiranmu, tapi luka-lukamu membutuhkan perawatan profesional. Kami harus memastikan tidak ada infeksi dan luka-lukamu mulai sembuh dengan baik. Ini bukan sesuatu yang bisa kau abaikan."

Arion menatap Liona. "Patuhlah sesekali."

Liona terkekeh melihat raut Arion. Gadis itu akhirnya mengangguk. "Oke."

Dokter yang merawat pun akhirnya pergi karena sesuatu yang harus dia lakukan.

Kini tinggal mereka berdua. Liona menatap Arion lama. Arion yang menyadaripun membalas tatapan itu.

"Kenapa, hm?" tanya Arion.

"Lo tau posisi kepala brankar ini terlalu rendah, bisa di naikkan sedikit?" tanya Liona.

Arion mengangguk samar.

Cowok itu memutar stelan di samping brankar dengan teliti, berusaha membuat posisi kepala Liona lebih nyaman.

Namun, karena tuas pengaturan berada di sisi yang berbeda, Arion harus sedikit membungkuk untuk mencapainya, melewati tubuh Liona. Saat dia menarik tuas tersebut, posisi kepala ranjang tiba-tiba terangkat dengan cepat, mengakibatkan wajah Liona bergerak mendekati wajah Arion.

Tanpa diduga, bibir Liona menyentuh pipi Arion. Seketika, Arion terperangah, tubuhnya kaku sejenak di tempat. Jantungnya berdebar kencang, lebih kencang daripada sebelumnya. Tatapannya masih terpaku pada Liona yang, alih-alih menunjukkan rasa kaget, malah tersenyum lebar.

"Sengaja?" tanya Arion, nada suaranya terdengar canggung namun bercampur dengan keingintahuan yang mendalam.

Liona menyandarkan tubuhnya ke bantal dengan lebih nyaman, matanya berkilau dengan sentuhan usil. "Hm...," jawabnya santai. "Lo terlalu serius, Arion. Kadang, sedikit keisengan bisa membantu mengalihkan rasa sakit."

Arion mengerutkan kening, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang mulai terbentuk di sudut bibirnya. "Jadi, lo pikir gue perlu lebih santai, gitu?"

Liona mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajahnya. "Hm, lo selalu tegang, kayak semua beban dunia ada di pundak lo. Sesekali, nikmati momen kecil juga nggak ada salahnya, kan?"

Arion menggelengkan kepala, menahan tawa. "Lo memang luar biasa, Liona. Lo bisa terluka parah, tapi masih bisa bercanda kayak gini." Dia mengambil kursi dan duduk kembali di samping ranjang, menatap Liona dengan tatapan penuh perhatian. "Tapi serius, lo bener-bener bikin gue khawatir."

Liona menghela napas panjang, kali ini tanpa nada canda. "Sorry, Arion. Gue nggak mau bikin lo cemas. Cuma, ada banyak hal yang harus gue pikirin dan rasain sekarang. Gue nggak mau jadi lemah terus."

Arion menatap Liona dalam-dalam, matanya penuh dengan empati dan kekhawatiran. "Gue ngerti, tapi nggak apa-apa buat minta bantuan atau sekadar biarin diri lo dipedulikan sama orang lain, Liona. Nggak semuanya harus lo tanggung sendiri."

Mata Liona melembut sejenak, melihat ketulusan dalam tatapan Arion. "Terima kasih, Arion," katanya lirih. "Gue hargai perhatian lo lebih dari yang bisa gue ungkapin."

Arion mengangguk pelan, memegang tangan Liona dengan lembut. "Jangan terlalu kaku."

"Jadi lo mau yang manja, Alan?" tanya Liona genit.

Arion tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Ini bukan gaya lo."

Liona tertawa terbahak-bahak, mengguncang sedikit ranjangnya. "Oh, lihat siapa yang bicara tentang gayanya! Lo justru yang paling kaku di sini, Arion. Sejak kapan lo jadi serius banget?"

Arion mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menutupi senyumnya yang tak bisa ditahan.

Liona mendekatkan tangannya, menyentuh lembut rambut Arion yang acak-acakan. "Tapi lo tahu, lo bereaksi lebih saat kita ciuman."

"Ini bukan tempat yang tepat, Liona." Arion meliriknya tajam.

"Jadi maksudnya tempat mana yang jauh lebih tepat? Mobil tadi atau di kamar lo yang ada di rooftop sekolah itu? Atauu... di bawah pohon depan rumah?"

Arion menahan senyumnya. "Secara nggak langsung lo ingat semuanya, Hazel."

Liona menutup mulutnya menyadari apa yang barusaja dia katakan. Telinganya memerah. "Lupakan!"

Arion tersenyum geli. "Maksud lo apa?"

"Shut up!"

"Padahal awalnya lo yang mancing."

***

Arion pamit ketika Elina datang ke ruangan Liona. Sebelumnya cowok itu sempat berpamitan kepada Liona dan berjanji untuk kembali saat malam nanti.

"Bagian mana yang sakit?" tanya Elina.

Liona menatap netra wanita itu. "Hati."

Elina tertegun mendengar itu. Dia tau Liona pasti belum memaafkannya. Wanita itu mengambil nafas dalam-dalam.

"Bunda boleh mengatakan sesuatu?"

Liona enggan menjawab namun mengangguk mengizinkan Elina berbicara.



#tbc

Gessss saran dong ntar lanjutan hubungan mereka kayak gimana  (Arion dan Liona)

Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgrace

Follow tiktok: @Wiwi Ramadani

KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤

SPAM NEXT 100+ BUAT LANJUT!!

JANGAN LUPA VOTE🖤

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang