TSK-07

96.6K 5.4K 21
                                    

Vote dulu ya..

Hendra semakin marah melihat sikap Liona yang menantang dan tidak takut. Ia menggeram dan melangkah mendekati Liona dengan langkah-langkah yang berat. Kedua tangannya menggenggam erat, siap untuk melakukan sesuatu yang lebih kasar lagi.

"Liona, kau pikir ini lelucon?" Hendra berseru, suaranya gemetar karena amarah.

"Ini memang lelucon, dan leluconnya itu Ayah sendiri." jawab Liona.

"Sejak kapan kau belajar kasar seperti ini huh? Siapa yang mengajarimu?!" Tatapan mata Hendra semakin gelap.

Liona tetap tenang. Dia tidak ingin menunjukkan ketakutan di hadapan ayahnya yang kasar ini. "Apa yang kamu inginkan, Ayah?"

Hendra mendekat dan mencengkeram bahu Liona dengan kuat, membuatnya tersungkur karena ditekan. "Kau benar-benar tak tahu malu! Membangkang demi keluarga itu!"

Liona meringis sakit ketika bahunya mengenai ujung meja, namun matanya masih memancarkan kebencian yang kuat. Aura gelap dan menakutkan mulai terpancar dari dirinya, membuat Hendra mendadak cemas dengan perubahan suasana disekitarnya.

"Sudahlah, memangnya kenapa kau melarangku kesana? Sejak kapan kau menjadi peduli begini?" ujar Liona dengan suara santai namun tegas.

Hendra melepaskan cengkeramannya dan menatap Liona dengan pandangan penuh ketidaksukaan. "Kamu benar-benar tidak tahu diri. Perempuan sialan, kau seperti ibumu itu, menjijikkan!" desisnya sambil pergi dari ruangan dengan langkah yang keras.

Liona tersenyum melihat Nina. "Ya, seperti ibu. Ayah benar. Benar-benar menjijikkan."

Nina menatapnya tak suka. "Ngapain kamu hah?!"

"Kau tak dengar?" Liona tertawa pelan. Kemudian diam.

Liona terduduk di lantai yang dingin. Tatapan matanya meredup. Dia merasakan sakit tidak hanya dari pukulan fisik ayahnya, tetapi juga dari sikap dan perkataan yang merendahkannya. Namun, dalam kebencian yang semakin lama semakin kuat itu, ada kekuatan yang muncul di dalam dirinya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, dia akan membuat keluarga ini gila.

***

Beberapa hari berlalu. Suasana di rumah Liona terasa semakin tegang. Hendra menghindari Liona, tetapi ketika mereka bertemu, suasana selalu dipenuhi dengan ketegangan yang tidak nyaman. Nina, ibu tiri Liona, juga terlihat semakin dingin dan tidak berinteraksi lebih dari yang diperlukan dengan Liona.

Tapi apa pedulinya, mereka tidak penting.

Liona mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia pergi ke sekolah, berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya, dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin di luar rumah. Beberapa tempat di sekolah menjadi tempat pelarian baginya, tempat di mana dia bisa merasa damai dan tak harus memikirkan apapun.

Seperti sekarang dia berada di kantin sekolah untuk mengisi perutnya yang kosong sejak malam kemarin. Dia malas untuk keluar dari kamarnya.

"Bu, satu porsi bakso ya? Sama jus lemon." kata Liona memesan makanannya.

"Baik nona."

"Aku tunggu di meja paling ujung sana gapapa kan bu?" Liona menunjuk tempat yang dia maksud.

"Tidak masalah nona, tunggu sekitar 5 menit ya..."

Liona mengangguk dan ke meja yang dia maksud. Gadis itu mengamati sekitarnya. Dia tidak memiliki teman dan hanya memiliki banyak pembenci disini. Mereka membenci tanpa alasan.

Setelah 5 menit berlalu, ibu kantin tadi kini datang membawa nampan berisi pesanannya.

"Terima kasih," kata Liona.

"Sama-sama."

Gadis itu menikmati makanannya sekarang. Di lapar. Tangannya pun sedikit bergetar karna itu. Terakhir dia makan teratur itu adalah hari terakhir sebelum dia menjenguk Alden.

Ngomong-ngomong soal Alden. Bagaimana keadaan kakaknya itu. Mungkin dia akan kesana setelah bel pulang berbunyi. Ia akan menghargai saudaranya yang menyayanginya. Tidak peduli dengan pandangan orangtuanya yang dingin.

Liona menghentikan aktivitasnya setelah mendengar pergerakan didekatnya. Itu Ilona yang mendekat. Namun Liona tak menunjukkan reaksi apapun dan kembali melanjutkan makannya yang sempat terhenti.

Ilona mendelik menatap Liona tak bereaksi apapun. Gadis itu tersenyum licik kemudian menarik rambut Liona kasar menyebabkan gadis itu tersentak begitu saja.

"Gue tau lo tolol tapi nggak usah pura-pura buta, ada gue didekat lo," kata Ilona tersenyum sinis.

Liona menatapnya datar. "Terus gue harus bilang wow gitu?"

"Haha, gimana? Ayah rencanain lho kalau lo harus di hapus dari kartu keluarga." Ilona berpangku tangan dengan senyum lebar.

Liona tertawa. "So why? Gue bisa buat kartu keluarga sendiri. Gratis juga jadi kenapa harus takut?"

Ilona tersenyum sinis. "Nggak usah pura-pura kuat lo, Liona. Minta maaf sama Ayah sana."

"Gue nggak salah, ayah lo aja yang lebay."

Ilona tertegun dengan kalimat Liona. "Sikap lo semakin lama semakin jelek ya? Nggak heran sih, lo murahan soalnya."

"Kayak lo ya?" balas Liona.

"Jaga bicara lo!" Ilona naik pitam membuat Liona tertawa. "Murahan amat emosi lo? Gitu aja marah."

Ilona menggebrak meja dengan mata tajam menatap Liona. Hampir seluruh penghuni kantin memusatkan perhatian ke mereka.

"Lo kalo benci gue nggak usah ngatain gue murahan!!" bentak Ilona dengan mata berkaca-kaca. Nada suaranya bergetar.

Hampir semua menatap Liona dengan tatapan menghakimi. Namun gadis itu hanya tersenyum. Ternyata niat Ilona dari awal memang untuk membuatnya dipandang demikian.

Dasar manipulatif, playing victim sialan lo Ilona.

"Gue tau kalau gue saudara tiri lo tapi lo jagan gitu dong, lo bener-bener keterlaluan!" Ilona semakin gencar mengeluarkan air matanya.

"Apa? Coba ulangi kalimat terakhir?" kata Liona hampir tertawa.

"LO KETERLALUAN!!!"

Byurrr

Liona menyiram jus lemon nya tepat kearah wajah Ilona. Gadis itu mendekat kemudian menarik kerah baju Ilona. "Ini yang namanya keterlaluan lo tau? Dan... bener-bener keterlaluannya itu seperti... Ini!!"

"Akhhhh!!!" Ilona merintih ketika kuah bakso itu menyiram perutnya. Tak terlalu panas, namun membuatnya begitu kesakitan.

"Lebay banget." ucap Liona malas, padahal udah dingin gitu kuahnya. "Tapi maaf, kuahnya pedas."

Semua yang ada disana berseru untuk menolong Ilona. Sedangkan Liona tersenyum puas dengan tindakannya.

"Lo berhasil buat gue dipandang buruk sama semua orang yang ada disini, dan tugas gue cuma membuktikan. Iyakan Ilona?" Liona tersenyum manis. "Lo seharusnya senang dong."

"SIALAN LO JALANG!!" bentak Ilona murka.

Liona mengangguk-anggkut saja. "Apa sebaiknya gue buktikan juga ya omongan lo barusan? Kayaknya lebih menantang juga."

"Haha sialan, dasar murahan tak tau diri!!" maki Ilona.

"Makasih pujiannya."









#Tbc
Secuil jejak anda, means a lot_

Follow akun ig: @wiwirmdni21

Vote dan komen ya apapun untuk menghargai aku sebagai penulis cerita ini☺🙏

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang