TSK-25

83.5K 4.5K 25
                                    

Vote duluu

Liona melangkah masuk ke dalam kelas, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Koridor yang penuh bisikan seakan tidak berarti baginya. Dia sudah mendengar desas-desus yang menyebar, tapi itu tidak membuatnya goyah. Justru, ada kepuasan terselubung di dalam hatinya ketika melihat tatapan curiga yang tertuju padanya.

Begitu Liona memasuki kelas, suasana menjadi hening. Semua mata tertuju padanya, tapi yang paling menonjol adalah Selina, yang duduk di bangku depan dengan tatapan penuh kebencian. Ketika Liona berjalan melewatinya, Selina bangkit dari kursinya, menatap Liona dengan pandangan yang menusuk.

"Liona," kata Selina, suaranya tajam, memecah keheningan di kelas. "Gue mau bicara sama lo."

Liona berhenti, menoleh perlahan dengan pandangan datar. "Bicara apa, Selina?" Suaranya dingin, tanpa emosi.

Selina mendekat, langkahnya penuh dengan intensi. "Nggak usah pura-pura nggak tahu. Semua orang tahu kalau lo orang terakhir yang bersama Eros sebelum dia menghilang. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Liona hanya menatap Selina dengan tenang, tanpa sedikitpun terganggu oleh tuduhan itu. Dia membiarkan keheningan menggantung beberapa detik, menikmati ketegangan yang semakin memuncak.

Lalu, dengan senyum tipis yang lebih menyerupai cibiran, Liona berbicara, "Jadi lo ngira gue yang bertanggung jawab atas hilangnya Eros?"

Selina menahan napas, sedikit terkejut oleh tanggapan Liona yang dingin. "Lo yang terakhir sama dia. Apa lagi yang harus gue pikirin?"

Liona mengangkat satu alis, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang remeh. "Menarik," katanya dengan nada rendah namun tajam. "Tapi... apa lo yakin kalau itu bukan lo yang mengatur semua ini?"

Kelas terdiam, semua mata tertuju pada dua gadis itu. Selina tersentak, jelas tidak menduga Liona akan membalikkan tuduhan itu kepadanya. "Maksud lo apa? Kenapa juga gue lakuin itu?"

Liona mendekat, sampai wajah mereka hampir berhadapan. Suara Liona berubah menjadi bisikan tajam yang hanya bisa didengar oleh Selina, tapi cukup keras untuk membuat bulu kuduk berdiri. "Karena mungkin, Selina, lo sebenarnya rencanain sesuatu yang buruk buat gue. Dan sekarang, ketika rencana lo itu berantakan, lo coba nyalahin gue buat selamatin diri lo sendiri."

Selina membeku, kehilangan kata-kata. Wajahnya memucat, dan untuk sesaat, ketakutan terlihat di matanya. Itu adalah ekspresi yang jarang terlihat dari seseorang yang biasanya begitu percaya diri dan dominan.

Liona menatap Selina dengan pandangan dingin, tak tergoyahkan. "Jadi, sebelum lo terus nuduh gue tanpa bukti, mungkin lo harus tanya diri lo sendiri... apa lo siap hadapin konsekuensi dari permainan ini?"

Selina menelan ludah, tidak bisa menemukan jawaban. Kelas masih sunyi, suasana terasa tegang. Tak ada satu pun siswa yang berani bergerak, seolah-olah mereka terperangkap dalam keheningan yang menyesakkan.

Dengan senyuman yang hampir tidak terlihat, Liona mengakhiri perbincangan itu dengan suara yang memotong udara seperti pisau. "Ingat, Sialan. Jika lo cari masalah sama gue, pastikan lo tahu siapa yang sedang lo hadapi."

Tanpa menunggu tanggapan, Liona berbalik dan berjalan ke tempat duduknya. Dia duduk dengan tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi, sementara Selina masih berdiri di tempatnya, terdiam seribu kata, wajahnya pucat pasi.

Kelas mulai berbisik kembali, tapi kali ini dengan nada yang berbeda—ketakutan. Semua orang menyadari bahwa Liona bukanlah seseorang yang bisa dianggap enteng. Selina, yang biasanya menjadi pusat perhatian, kini tampak kehilangan kendali, terperangkap dalam permainan yang tidak pernah ia bayangkan.

***

Setelah konfrontasi dengan Selina, keheningan yang tegang masih menggantung di udara. Liona duduk dengan tenang di bangkunya, tatapan dinginnya menatap lurus ke depan. Seluruh kelas tampak enggan bergerak, seolah-olah mereka takut mengganggu ketenangan yang telah Liona ciptakan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Pintu kelas tiba-tiba terbuka, dan Arabella, dengan rambut pirang panjangnya yang tergerai rapi, melangkah masuk. Langkahnya ragu, dan tatapannya gelisah saat dia mencari seseorang—seseorang yang sudah jelas dia cari.

Liona tidak bergerak sedikitpun, meskipun dia tahu Arabella sedang mendekatinya. Kelas terdiam sekali lagi, dengan mata-mata penasaran mengikuti setiap gerakan Arabella.

Bahkan Selina, yang biasanya mendominasi suasana, tampak hanya menonton dari sudut matanya, mungkin masih terpukul oleh kata-kata dingin Liona.

Arabella berhenti tepat di depan Liona. Dengan suara pelan namun jelas terdengar oleh semua orang, dia berbicara. "Liona... gue mau bicara empat mata sama lo."

Liona berdecak, ada saja manusia pengganggu yang senang tiasa hadir dalam ketenangannya. Gadis itu melirik Arabella. "Disini aja."

Arabella tampak melirik kesampingnya untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya. Namun rasanya mustahil, dia akhirnya menarik nafas. "Gue mau minta maaf atas tindakan gue kemarin!" katanya dengan satu tarikan nafas.

Liona tersenyum miring. "Pelan-pelan dong, gue nggak dengar. Coba ulang!"

"Liona, gue minta maaf atas ucapan gue kemarin!"

Liona tampak mengangguk-angguk. "Ucapan lo yang mana?"

"Ee.. itu-" Arabella kembali melirik kekanan dan kekiri secara bergantian seolah mengawasi kondisi kelas. "Tentang gue yang ngatain lo jalang~" pelannya.

"Itu doang?" tanyanya dengan wajah tengil.

"Tentang gue yang ngatain lo tawarin tubuh ke Arka!"

Liona bersandar kemudian mengheoa nafas berat. "Jadi... gimana Ara? rasanya terpojok itu bagaimana menurut lo?"

Arabella menelan salivanya. "Gue cuma mau minta maaf sama lo..."

"Ya, gue tau. Lo cuma mau minta maaf tanpa rasa bersalah. Lo gak sungguh mau minta maaf karna merasa diri lo memang nggak bersalah." Liona menatapnya datar. "Lo cuma takut nggak bisa dekat dengan Arka lagi karna lo udah ngatain gue bahkan kunci gue di rooftop sekolah," 

"Gue nggak-"

"Memang itu kenyataannya." potong Liona cepat, matanya nyalang menatap Arabella.

"Gue minta maaf." Arabella menunduk.

Liona enggan menjawab dan hanya menatapnya datar.

Merasa usahanya sia-sia saja akhirnya Arabella memutuskan untuk pergi. Namun, saat tubuhnya berbalik dia menatap ujung sepatu berada tepat di belakangnya. Tatapannya perlahan naik hingga matanya membulat kaget.

Deg

"Lo kunciin Liona di rooftoo, Bel?" tanya Arka dengan rahang mengeras.

"Arka- nggak gue gak bermaksud-"

"Cih!" Liona beranjak dari kursinya kemudian menatap Arka. "Urus dia, gue capek."

Arka menarap adiknya itu dalam kemudian mengangguk. "Ikut gue, Arabella."

#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgrace

Follow tiktok: @Velinxndr

KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤

JANGAN LUPA VOTE🖤

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang