TSK-59

42.3K 2.4K 317
                                    

Kalian nunggu lama ya buat update ini😭😭🖤 maaf:(

Cipratan darah mengenai wajah Liona, membuat rambut hitamnya yang terurai ikut basah oleh merahnya cairan. Dia tidak tersentak atau terkejut; justru, bibirnya mengerut, menandakan rasa muak yang tumbuh di dalam dirinya. Tangan kirinya yang masih menggenggam pistol dengan kokoh terangkat lagi, siap menarik pelatuk.

"Beraninya lo nyerang gue," gumam Liona dingin. Dengan satu tembakan lagi, dia melumpuhkan seseorang yang mencoba melarikan diri ke belakang tumpukan kayu di sudut ruangan.

Tubuh-tubuh musuhnya tergeletak tak bernyawa di lantai, sebagian dengan luka tembak di kepala atau dada. Mereka yang masih hidup terkapar, meringkuk dalam kesakitan. Napas mereka terdengar berat, dan suara rintihan mereka bergaung di ruangan yang semakin sunyi. Salah satu dari mereka terbaring di dekat kakinya, memegangi perut yang penuh luka tembak.

Liona berjalan mendekati pria itu, seakan tanpa perasaan, dan dengan tumit sepatunya, dia menginjak perut yang sudah terluka parah. Terdengar suara jeritan tertahan dari musuhnya, membuat Liona mengangkat alis. Matanya menyipit, memperlihatkan sedikit rasa jijik, namun wajahnya tetap tanpa emosi. Hanya ada kemuakan di sana.

"Ngapain lo masih hidup?" suaranya dingin, tajam seperti pisau yang mengiris. "Nyusahin banget."

Laki-laki yang terkapar di bawahnya mendesah panjang, berusaha keras untuk bernapas, matanya menatap Liona penuh kebencian, namun kelemahan dalam tubuhnya membuat amarah itu tak bisa tersampaikan.

"Kau... akan... menyesal," gumamnya di sela napas tersengal. "Kau tidak tahu... siapa yang kau hadapi."

Liona mendekatkan wajahnya dengan santai ke arah pria itu, sehingga mereka hampir saling berhadapan. "Menyesal? Gue nggak pernah kenal yang namanya menyesal. Sekarang jawab pertanyaan gue, sebelum gue bikin hidup lo lebih buruk." Bibirnya menyeringai kecil, nada suaranya penuh ancaman.

"Di mana Gibran Frederick?"

Pria itu terbatuk, darah mengalir dari sudut bibirnya. Dia tertawa lemah, seolah menemukan ironi dalam situasi ini. "Kau... benar-benar cucunya... kejam... dan tanpa hati... seperti Gibran."

Liona hanya mengerutkan bibirnya. "Jangan banyak omong. Lo bisa jadi mayat lebih cepat kalau gue mau. Sekarang gue kasih kesempatan buat lo bicara. Gibran... di mana?"

Pria itu terdiam beberapa saat, tampak mempertimbangkan jawabannya. Meski lemah dan sekarat, dia masih memiliki sedikit kekuatan untuk merendahkan Liona dengan tatapan penuh kebencian..

"Kau... terlambat," suaranya hampir tak terdengar. "Gibran... sudah pergi."

Liona tidak bergerak. Matanya menatap kosong ke arah pria itu, seolah kata-katanya hanyalah angin lalu. Namun, detik berikutnya, dia menendang perut pria itu lagi, kali ini lebih keras, membuat napasnya tercekik dan mengeluarkan jeritan lemah.

"Gue nggak nanya soal itu. Dimana dia? Di mana markas terakhirnya?"

Pria itu meringis kesakitan, napasnya tersengal. "Kau... tidak akan pernah menemukannya."

Liona menarik napas panjang, matanya semakin tajam. "Salah jawaban." Dia mengangkat pistolnya, kali ini mengarahkannya ke kepala pria itu. "Gue bakal kasih lo kesempatan terakhir. Lo mau mati dengan cara mudah, atau gue bikin lo menyesal lahir ke dunia?"

Pria itu menatap Liona dengan rasa ngeri, sekarang memahami bahwa tidak ada belas kasihan dalam diri gadis ini. Hanya kemarahan yang dingin dan tekad untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia merintih, menyadari bahwa hidupnya berada di ujung tanduk.

"Gibran... dia ada di gudang lama... di pinggir kota... dekat pelabuhan..."

Liona tersenyum dingin, senyum yang sama sekali tidak membawa ketenangan bagi pria di hadapannya. "See? Lebih gampang kan." Dia menyimpan pistolnya, lalu menatap pria itu untuk terakhir kali sebelum berbalik meninggalkan ruangan. Tertinggal di belakangnya, musuh-musuhnya hanya bisa merintih dalam kesakitan, sebagian sudah tidak lagi bergerak.

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang