TSK-43

54.7K 2.7K 82
                                    

Vote dulu

"Seandainya tau keadaanya tetap akan begini, bunda tidak akan melepasmu Liona." kata Elina dengan pelan. "Seandainya bunda lebih berani pada Gibran, semua ini tidak akan terjadi..."

"Kamu akan tetap bersama bunda seandainya, maafkan bunda nak..."

Gadis itu mengepalkan tangannya. Sia-sia wanita ini meminta maaf, Liona bahkan sudah pergi tanpa tau kebenaran di balik semua kebencian yang dia terima. Tapi kenapa rasanya sesak sekali mengetahui kebenaran itu. Tidak seharusnya dia bertukar dengan Liona.

Namun, semua penyesalan itu kini tak berarti apa-apa bagi Liona. Kata-kata Elina hanya menambah beban di hati gadis itu. Liona menggelengkan kepalanya pelan. Keadaan ini tak pernah terlintas di benaknya; ibu yang selama ini dianggapnya dingin dan tak peduli, ternyata menyimpan begitu banyak rasa bersalah.

"Kalau saja bunda memberitahuku lebih awal...," gumam Liona dengan suara pelan namun tajam. "Kenapa baru sekarang, bunda? Kenapa harus menunggu semua ini terjadi?"

Elina menunduk, air matanya mulai mengalir tanpa henti. "Bunda takut, Nak. bunda takut kamu akan membenci bunda lebih dari apa yang sudah terjadi. bunda pikir, dengan diam, semuanya akan lebih mudah... tapi ternyata bunda salah."

Kemarahan dan kepedihan menyatu dalam dada Liona. Ingin rasanya ia berteriak, memaki, atau sekadar melepaskan semua yang menyesakkan. Namun, yang keluar dari bibirnya justru sebuah bisikan getir, "Bunda tidak pernah paham betapa hancurnya Liona karena semua ini. Selama bertahun-tahun, dia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri, tidak pernah mengerti mengapa dia diperlakukan seperti ini."

Elina menatap Liona, matanya dipenuhi air mata dan penyesalan yang dalam. "Maafkan bunda, Liona. Bunda benar-benar menyesal."

Liona menggigit bibirnya. "Apa bunda benar-benar menyesal?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Atau bunda hanya menyesal karena kebenaran akhirnya terbongkar?"

Kata-kata Liona seperti pisau tajam yang menusuk hati Elina. Wanita itu terisak, menutupi wajahnya dengan tangan. "Bunda menyesal, Nak... bunda menyesal untuk semuanya. bunda ingin memperbaiki semuanya, tapi bunda tahu itu mungkin sudah terlambat."

Liona menatap wanita yang terguncang di depannya. Sebagian dari dirinya ingin memaafkan, ingin percaya bahwa wanita ini benar-benar menyesal. Tapi bagian lain dari dirinya yang telah terluka terlalu dalam, terlalu lama, tidak bisa begitu saja melupakan semua yang telah terjadi.

"Bunda...," suara Liona pelan, hampir seperti berbisik. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan bunda. Rasa sakit ini... terlalu besar. Terlalu dalam."

Elina menurunkan tangannya dan menatap putrinya dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Bunda mengerti, Liona. Bunda mengerti. Tapi bunda berharap, suatu hari nanti, kamu akan bisa menemukan dalam hatimu untuk memaafkan bunda."

Liona memalingkan wajahnya, menatap jendela yang terbuka lebar di sudut ruangan. Angin malam yang dingin masuk, mengirimkan getaran dingin yang membuatnya merasa semakin kosong. "Aku tidak tahu," katanya dengan suara datar. "Aku benar-benar tidak tahu."

***

Malam harinya hujan lebat mengguyur tanpa henti, menciptakan tirai air yang deras di luar jendela. Langit begitu gelap, hampir tidak terlihat apa-apa selain kilatan petir yang sesekali menyambar, menerangi kegelapan dengan cahaya yang tajam dan seketika. Angin bertiup kencang, menggetarkan dedaunan pohon dan menghantam jendela dengan irama yang mengancam, seolah mencoba menembus kehangatan di dalam rumah.

Di balik kaca yang berembun, Liona memandang keluar, matanya terpaku pada kegelapan yang pekat, sementara pikirannya melayang jauh, terbawa oleh badai emosi yang berputar di dalam dirinya.

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang