TSK-33

73K 3.7K 109
                                    

Vote duluuuu

Liona duduk disofa ruang keluarga dengan wajah datar.  Menelisik wajah baru didepannya. Gibran Frederick dan sang istri—Victoria Von Strauss. Wajah mereka asing di ingatannya. Kemungkinan besar mereka memang tidak pernah bertemu dengan Liona. 

Dan ini adalah pertemuan pertama. Liona tersenyum miring, sangat menarik.

Liona menatap keduanya dengan tatapan tajam yang seolah menembus. "Jadi, kalian akhirnya memutuskan untuk menunjukkan diri," ucap Liona dengan suara tenang, namun penuh dengan sindiran. Senyumnya yang miring semakin memperjelas ketidakpercayaannya.

Gibran Frederick, pria tua dengan rambut yang sudah memutih, tetap tenang dalam ekspresinya. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, sementara Victoria Von Strauss, istrinya, menatap Liona dengan mata yang sulit dibaca. Namun, ada secercah rasa ingin tahu yang muncul di balik sorot matanya.

"Kami tahu ini mungkin aneh untukmu," kata Gibran, suaranya dalam dan berwibawa. "Tapi kami datang dengan niat baik."

Liona mengangkat satu alis, sedikit tertawa kecil. "Niat baik, ya? Kalian datang setelah sekian lama menghilang, dan kalian ingin aku percaya begitu saja?"

Victoria, yang duduk di samping suaminya, akhirnya angkat bicara. Suaranya lembut namun tegas. "Kami tahu bahwa waktu tidak berpihak pada kita. Namun, ada hal-hal yang perlu kamu ketahui, Liona. Tentang keluargamu, tentang kita, dan tentang dirimu sendiri."

Liona bersandar di sofa, menatap mereka dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"

Victoria menatap suaminya sejenak sebelum kembali memandang Liona. "Kami ingin memperbaiki hubungan ini. Kami ingin kau mengenal siapa kami sebenarnya, dan kami ingin tahu lebih banyak tentang siapa dirimu sekarang."

Senyum miring Liona memudar, digantikan oleh ekspresi serius. "Kalian datang dengan cerita ini setelah bertahun-tahun, dan sekarang kalian ingin aku mempercayai kalian? Aku tidak tahu apa yang kalian rencanakan, tapi aku tidak semudah itu dibodohi."

Gibran menarik napas dalam-dalam. "Kami tahu ini sulit, Liona. Tapi kami tidak akan memaksamu. Kami hanya meminta satu kesempatan untuk menunjukkan bahwa kami masih peduli."

Liona diam sejenak, matanya meneliti setiap reaksi kecil di wajah mereka. Selanjutnya dia tersenyum miring "Baiklah," ucapnya akhirnya, "Aku akan mendengarkan. Tapi jangan harap aku akan mudah percaya."

Percakapan terhenti sejenak, ketegangan terasa di udara. Namun, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang masih tersembunyi, menunggu untuk terungkap.

Gibran menukar pandang dengan Victoria, seolah mencari dukungan sebelum melanjutkan. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya kembali kepada Liona.

"Terima kasih telah memberi kami kesempatan ini," Gibran berkata dengan nada yang lebih lembut. "Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau tidak mempercayai kami. Kami telah membuat banyak kesalahan di masa lalu, terutama dalam hubungan kita dengan keluargamu."

Liona tidak merespons. Gibran melanjutkan, "Kami tidak akan mengungkit semua itu sekarang. Sebaliknya, kami ingin memberikanmu sesuatu yang seharusnya menjadi hakmu sejak lama."

Victoria, yang sejak tadi hanya mendengarkan, merogoh tas kulit hitamnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal. Dia menyerahkannya kepada Liona dengan hati-hati. "Ini," kata Victoria, "adalah catatan penting mengenai warisan keluargamu dan beberapa dokumen yang mungkin menjelaskan lebih banyak tentang masa lalu kita."

Liona menatap amplop itu sejenak sebelum mengambilnya. "Warisan?" gumamnya sambil membolak-balik amplop tersebut. "Kalian benar-benar muncul sekarang, setelah semuanya terjadi, hanya untuk bicara soal warisan?"

Victoria menggeleng pelan, "Ini bukan hanya soal harta atau uang, Liona. Ini tentang masa depanmu dan tentang pilihan yang bisa kau buat. Kami tahu apa yang telah dilakukan keluargamu, dan kami di sini untuk memastikan kau tidak harus menanggung beban yang sama."

Liona mengepalkan amplop di tangannya, pandangannya tidak bergeming dari wajah mereka. "Jadi, kalian datang ke sini hanya untuk mewariskan beban kalian padaku? Apakah kalian benar-benar berpikir aku akan menerimanya begitu saja?"

Gibran, dengan nada yang sedikit lebih tegas, menjawab, "Ini bukan tentang memindahkan beban, Liona. Ini tentang meluruskan apa yang telah terlanjur salah, tentang memberikanmu kendali atas apa yang seharusnya menjadi milikmu."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Liona membuka amplop itu perlahan, melihat sekilas beberapa dokumen di dalamnya. Namun, dia segera menutupnya lagi, menatap kedua orang di depannya dengan mata yang penuh kecurigaan.

"Aku akan memikirkannya," jawab Liona akhirnya. "Tapi jangan harap aku akan mengambil keputusan sekarang."

Victoria tersenyum tipis, lega karena Liona setidaknya mau mempertimbangkan. "Itu yang kami minta, Liona. Pertimbangkan semuanya dengan hati-hati."

Liona bangkit dari sofa, membawa amplop itu bersamanya. "Aku akan mencari tahu sendiri apa yang harus kulakukan. Aku akan pergi sekarang."

Gibran dan Victoria mengangguk. "Kau tidak sendirian, Liona. Apapun keputusanmu nanti, ingatlah bahwa kami di sini bukan untuk memaksamu, tapi untuk mendukungmu."

Liona tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Amplop di tangannya terasa lebih berat dari yang seharusnya, seolah-olah berisi bukan hanya kertas, tetapi juga beban masa lalu yang telah lama terkubur.

Ketika pintu tertutup di belakang mereka, Liona tetap berdiri di tempatnya. Dia menatap amplop itu dengan raut datar. "Mereka melakukan pendekatan murahan."

Ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa terganggu, seolah-olah ini hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap.

Senyum miringnya muncul kembali saat dia berbisik pada dirinya sendiri, "Jadi, ini permainan kalian? Baiklah, kita lihat siapa yang menang pada akhirnya."

***

"Ilona kabarnya bagaimana ya?" Liona duduk di kursi taman dekat rumah besar sembari menikmati semburan angin yang menerbangkan rambutnya.

Liona menutup matanya. Bukan tidur, tapi dia sedang mengistirahatkan tubuhnya.

Beberapa menit berlalu, Liona merasa ada yang mendekat kearahnya. Dia meliriknya. Ternyata Arabella.

"Ngapain lo disitu?" tanya Liona.

"Gue gak sengaja lewat disini, gue liat lo akhirnya gue samperin..."

"Sengaja lewat atau sengaja mau ngintilin Arka?"

Arabella meremas tangannya seolah tertangkap basah. "Lio, maafin gue ya?"

Liona menghela nafas hendak pergi namun Arabella menghentikannya dengan satu kalimat.

"Gue lakuin apapun yang lo suruh! Gue siap! Apapun yang penting jangan suruh gue telanjang disini..." cicit Arabella pada akhir kalimatnya.

Liona terkekeh. "Gue tau lo cuma mau telanjang didepannya Arka." katanya membuat wajah Arabella memerah bak tomat.

"Nggak gitu juga..." lirihnya menunduk.

"Apapun..." Liona terlihat berfikir. Gadis itu menelisik penampilan Arabella dari atas sampai bawah. Dia mengangguk. "Cari tau tentang Ilona, hubungi gue setiap tiga jam sekali tentang informasi yang lo dapat tentang dia."

Arabella terdiam.

"Gak sanggup?"

Gadis itu menggeleng keras. "Sanggup!"

"Lakukan sekarang!"

"Oke!"

Liona kembali menghela nafas panjang. Hari sudah semakin gelap dan dia merasa ada yang kurang dari hatinya. Gadis itu mengusap wajahnya kasar kemudian memilih pergi.

#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgrace

Follow tiktok: @Velinxndr

KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤 SPAM NEXT!! Yang banyak yaa

JANGAN LUPA VOTE🖤

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang