TSK-04

122K 7.6K 98
                                    

Vote dulu yuk;)

Liona menatap lurus keluar jendela mobil milik Arka. Kira-kira apa yang harus ia lakukan jika sampai disana. Bersikap ramah? atau mungkin memeluk mereka satu persatu. Gadis itu berdecak, mungkin jika ia melakukannya hanya akan menerima penolakan.

"Udah makan?" tanya Arka menepikan mobilnya.

"Belum laper, di tas juga ada bekal belum di makan." kata Liona. "Kenapa berhenti mobilnya?"

"Mau beli makanan buat temennya bang Alden."

Liona mengerutkan dahinya. Itu artinya di ruangan Alden ada banyak orang. Gadis itu menutup mulutnya dan tertawa kecil. Hampir saja ia memeluk semua teman Alden. Ia merutuki dirinya yang sempat berfikir untuk memeluk mereka satu persatu tadi.

"Gue beli buah aja." kata Liona.

Arka mengangguk kemudian memberikan Liona uang seratus ribu. "Nih, lebihnya buat jajan lo aja."

Liona menggeleng. "Nggak usah, gue ada duit kok."

"Ambil ya?"

"Abang simpen aja, ini aja masih ada uang Ilona yang gue ambil tadi. Soalnya sayang kalo nggak diambil." kata Liona memperlihatkan uang yang diambilnya tadi di lantai.

"Yaudah, simpen aja buat jajan besok!" Arka memberikannya di tangan Liona langsung. "Ayo turun."

"Oke."

***

Sesampainya di rumah sakit, Liona dan Arka berjalan beriringan ke ruang rawat tempat Alden. Ada perasaan ragu dan sedikit cemas yang muncul ketika Arka mendorong gagang pintu ruangan.

"Halo bang.." salam Arka kemudian masuk.

Liona membiarkan Arka untuk masuk terlebih dahulu. Dari suara-suara yang terdengar, Liona dapat menyimpulkan ada berapa orang didalam. Tujuh orang, dua diantara mereka yang Liona tau adalah Alden pastinya dan juga Bunda mereka—Elina Zivanka. Dan lainnya lagi pasti teman-temanya Alden.

"Kamu bawa siapa itu, Arka?" tanya Elina ketika menyadari ada seorang perempuan yang berdiri didepan pintu.

"Liona, Bunda," jawab Arka.

Elina terdiam kemudian mengalihkan atensinya ke arah lain ketika Liona melangkah masuk.

Liona tertawa dalam hatinya. Apa Ibunya itu tak mau melihat putrinya yang cantik ini? Sangat di sayangkan.

"Halo, Li." Sapa Alden dengan senyum mengembang.

Hampir semua tatapan mengarah ke Liona seorang. Gadis cantik dengan rambut dicepol asal itu tersenyum tipis menyapa mereka.

"Halo juga." balas Liona mengulurkan buah-buahan yang sempat dia beli tadi. "bagiin ke temannya,"

"Abang nggak dikasih juga?" tanya Alden.

"Makan aja, nggak mungkin juga abang makan itu semua." kata Liona melirik Elina yang masih enggan menatapnya.

Menyadari respon Elina yang tak mau melihat Liona membuatnya prihatin. Cowok itu kemudian menarik pergelangan tangan adiknya itu untuk duduk di sampingnya. "Gimana kabarnya?"

"Yah, nggak sebaik kalian tentunya." jawab Liona datar.

Semuanya terdiam. Liona terkekeh dalam hati. Kenapa? Kalian prihatin atau tidak mau tau?

"Ayah nggak nyakitin kamu kan?" tanya Arka dengan wajah mengerut.

"Dia bahkan nggak peduli." Liona kembali melirik Elina. Mengapa wanita itu hanya diam.

Alden menajamkan tatapannya ketika melihat bekas darah di sudut bibit adiknya itu. "Ini kenapa?!" tanyanya sembari menangkup wajah Liona.

Arka terdiam sejenak. Menunggu Liona untuk menjawabnya.

"Ahh ini ya?" Liona mengusap darah kering yang masih tersisa itu. "Ini darah, nggakpa-pa kok. Udah biasa juga."

"Kenapa nggak bilang sama abang?" tanya Alden dengan wajah datar.

"Nggak mau repotin, takut gangguin kalian yang udah bahagia. Masalah Liona biar aku aja yang tanggung sendiri." kalimat terakhir membuat Elina mengepalkan tangannya.

'Sendiri' itu menandakan tidak ada seorang pun yang mendukung anak itu. Tidak ada seorang pun yang merangkul dan melindunginya.

Liona menatap Elina. Melihat wanita itu ia jadi merindukan mamanya dulu. Mereka mirip sekali, dari wajah, postur tubuh dan bahkan tatapan.

Tapi kenapa keduanya enggan sekali menatapnya.

Cklek!

Pintu terbuka, masuklah satu wanita dengan penampilan casual. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Liona. Umurnya sekitar 30 tahun. Adera—istri Rafan.

"Adera sayang, kapan datangnya?" sapa Elina hangat dan memeluk wanita itu.

"Hehe, tadi ma. Mas Rafan katanya nggak sempat ikut, ada rapat mendadak."

"Haha! Dasar anak itu, gila kerja!"

"Dia gitu kan juga buat aku ma, hehe..."

Liona mengepalkan tangannya. Responnya sangat berbeda dengan dia tadi. Melihat keduanya begitu akrab bahkan sampai berpelukan membuat gadis itu paham mengapa Liona memilih menyerah.

Kenapa? Mengapa Liona yang jelasnya adalah anak kandung disini bahkan tak dilirik sama sekali.

Liona mengarahkan pandangannya kearah lain. Namun tatapannya justru menubruk tatapan lain yang juga entah sejak kapan menatapnya dengan tajam.

"Dia Alan, Alanrion lebih tepatnya. Dia yang bukain kunci bilik waktu kamu kekunci." jelas Alden.

Liona membulatkan matanya. "Makasih Arion." ucapnya tulus dengan lengkungan dimatanya.

"Iya, kebetulan juga dapet lo disana." kata Alanrion. "Lo bisa panggil gue Alan."

"Gue lebih suka Arion, sorry." Liona tertawa.

Alden tersenyum tipis. "Dasar."

Sunyi beberapa saat hingga teman-teman Alden kembali memulai obrolannya tadi yang sempat terjeda saat Arka dan Liona datang. Liona hanya tersenyum menanggapi candaan yang dilayangkan teman-teman Alden. Pun juga dengan Elina dan Adera bahkan sampai saling tertawa.

Liona menatap Alden. "Gue pulang aja deh, bang."

Alden dan Arka menatapnya bersamaan. "Kok cepet banget sih dek?" tanya mereka.

Liona melirik Elina dan Adera yang menghentikan pembicaraan mereka. Dia tersenyum remeh. "Nggak dibutuhin juga, dan sakit hati juga sih nggak disapa kayak Adera itu. Padahal seumur Liona hidup nggak pernah dapet perhatiannya hangat kayak gitu." Gadis itu mengeluarkan unek-uneknya. Lebih tepatnya isi hati Liona yang tidak sempat dikeluarkan sebelum pergi.

"Liona..." Alden menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Padahal nggak susah ya.. kayak, halo Liona sayang, gimana harinya?" Liona menatap Elina datar. "Kalau diberi kesempatan ditanya mau lahir atau nggak, Liona pasti nggak akan milih mau kalau tau hidup kayak gini."

"Liona—" ucapan Arka terpotong.

"Kadang gue bingung, gue ini salah apa sampai orangtua gue sendiri nggak mau nerima gue. Keluarga Bunda hangat banget, lebih-lebih keluarga Ayah disana." Liona mengepalkan tangannya keras.

"Liona.. kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Alden.

Liona meliriknya datar. "Takutnya jadi penyakit kalau dipendam terlalu lama."
Terjadi jeda beberapa detik. "Nanti kalau aku sakit siapa yang mau rawat? Nggak ada."

#Tbc

Follow ig: @wiwirmdni21
Follow akun wattpad ini juga yaa supaya semangat update

VOTE DAN SPAM KOMEN YAAA 🔥🔥
Supaya semangat update:)

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang