Vote dulu!
"Jadi mereka ini siapa?" tanya Liona melihat tiga pria yang duduk dilantai.
"Anggota baru, masih latihan." jawab Arion.
"Hah? Jadi lo jadiin gue bahan latihan buat mereka?" tanya Liona, dahinya mengerut dengan alis ditekuk sebelah.
Arion menatapnya kemudian menggeleng. "Nggak."
"Terus apa?" tanyanya dan Arion hanya diam.
Liona mengerutkan dahinya, "Jadi apa sebenarnya?"
Arion menghela napas, lalu tersenyum. "Bagaimana kalau kita mengujimu lebih lanjut?"
Liona menatapnya tajam. "Oke!" jawabnya cepat.
Arion melangkah maju, matanya mengamati Liona dari atas hingga bawah dengan rasa kagum yang jelas terlihat. Ujung bibirnya naik membentuk seringai. "Gue penasaran, seberapa besar nyali lo hingga berani jawab 'iya' saat gue nantangin lo."
Liona merasa sedikit aneh melihat ekspresi Arion, namun dia tetap berusaha tenang. "Kenapa senyum?"
Arion tertawa lembut, "Karena lo mengesankan."
Liona menghela napas panjang, merasa sedikit kesal dengan sikap merendahkan Arion terhadap kemampuannya. "Lo terus rendahin potensi gue, buat apa sih?"
Arion menatap Liona dengan penuh minat. "Gue mau liat seberapa jauh lo bisa melangkah, dan apa yang buat lo beda dari yang lain."
Liona memandang Arion dengan tatapan tajam, merasa semakin terdorong untuk membuktikan kemampuannya. "Jika itu yang lo mau, maka ayo buktikan sendiri."
Cowok itu melirik anak buahnya yang menatap mereka. "Kalian pergi, kembali ke markas."
"B-baik!" jawab mereka serentak.
Arion lalu beralih menatap Liona. Jarak mereka dekat bahkan hampir tidak memiliki celah. Aura mengintimidasi Liona terasa kuat namun Arion mampu mengimbanginya hingga Liona merasa tertantang.
"Jadi apa yang harus gue lakukan?" tanya Liona.
Arion mengerutkan dahinya. "Apapun, bertindak semau lo aja."
Bughhh!
Gerakan gesit Liona membuat Arion segera menangkisnya. Cowok itu berdesis. "Cukup kuat." katanya menanggapi tendangan tiba-tiba Liona.
Liona dan Arion melanjutkan pertarungan mereka, intensitasnya meningkat seiring waktu. Awalnya, Arion kesulitan mengimbangi kecepatan dan keberanian Liona, namun seiring berjalannya waktu, dia mulai mendominasi. Liona terengah-engah, dadanya naik turun, jantungnya berdegup kencang.
Arion mengamati dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan nada menantang, "Apa cuma ini kemampuan lo, Liona?"
Kalimat itu memicu semangat Liona. Tubuhnya bergerak dengan kekuatan baru, pukulan dan tendangannya semakin intens. Peluh membasahi tubuhnya, namun Arion tetap lebih unggul karena pengalamannya yang luas dan fisiknya yang terlatih. Saat Arion akhirnya memberikan pukulan telak, Liona berteriak kesakitan, kakinya terasa sangat nyeri.
Liona memutuskan untuk mengaku kalah, dan Arion segera menghampirinya, membantu Liona menuju kursi di sudut ruangan. Saat Liona duduk, dia berdesis menahan sakit.
"Shh.. ahhkh sakit!" Liona memejamkan matanya ketika Arion membuka sepatunya.
Arion mulai mengomentari tindakan Liona yang agresif. Dengan hati-hati, dia mulai mengobati luka keseleo di kaki Liona.
Meskipun rasa sakitnya cukup mengganggu, Liona memandang Arion dengan campuran rasa sakit dan rasa canggung.
"Gue nggak nyangka lo bisa jadi sekeras ini," kata Arion sambil bekerja.
"Ya, gue juga nggak nyangka lo bakal lebih dari sekadar latihan biasa," balas Liona, berusaha tersenyum meskipun sakit.
Arion tersenyum tipis, "Kita baru mulai, Liona. Buktiin kalau lo pantas."
Tatapan Liona menajam. Wajah didepannya terus ia pandangi dengan lamat. Arion mendongak, tatapan mereka bertemu.
Hening cukup lama. Arion masih memegang kaki Liona namun tatapannya terkunci pada netra tajam milik perempuan itu.
Nafas mereka beradu dengan tatapan yang semakin intens.
Arion melanjutkan pekerjaannya, hati-hati merawat kaki Liona yang keseleo, namun tatapannya tetap terkunci pada mata Liona. Kesunyian di antara mereka semakin mendalam, terasa penuh dengan ketegangan.
Liona akhirnya memecahkan keheningan dengan suara rendah, "Lo benar-benar mau buktiin sesuatu, ya?" Arion meliriknya sejenak sebelum kembali fokus pada kakinya.
"Hm, gue mau tahu apa yang lo miliki di dalam diri lo. Dan seberapa jauh lo siap melangkah untuk menunjukkan itu."
Liona menatap Arion dengan intensitas yang sama. "Kenapa lo peduli? Kenapa lo harus melihat gue sebagai sesuatu yang perlu dibuktikan?"
Arion menghela napas. "Diam Liona."
"Kenapa Arion?"
Arion mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Liona. "Gue berharap lo bakal menunjukkan kepada semua orang, termasuk diri lo sendiri, bahwa lo lebih dari yang mereka kira." Arion memberi jeda sebentar kemudian kembali melanjutkan kalimatnya. "Dan mungkin, setelah itu, lo bakal jadi seseorang yang bahkan gue harus pertimbangkan dengan serius."
Liona menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit namun tetap fokus pada percakapan. "Jadi ini semua tentang membuktikan diri, baik untuk gue maupun untuk lo?"
Arion mengangguk perlahan. "Tepat sekali. Dan gue berharap lo bakal memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan siapa lo sebenarnya."
Liona menghela napas panjang. "Oke, gue akan buktikan kalau gue lebih dari sekadar latihan. Gue akan tunjukkan kalau gue pantas ada di sini."
Arion tersenyum tipis, rasa puas terlihat di wajahnya. "Itulah yang gue harapkan dari lo. Dan ingat, ini baru awal. Masih banyak hal yang harus lo pelajari dan buktikan."
"Hm, jadi sekarang apa?" tanya Liona memandang kakinya.
"Apa?" tanya Arion tidak paham.
"Gue mau pulang, abang gue nanti nyariin."
"Alden?" Liona menganguk. "Gue anterin."
"Eh jangan, nanti mereka curiga."
"Curiga kenapa? Kita bahkan nggak ngelakuin macam-macam."
"Ck, pikiranmu terlalu pendek."
"Mau yang panjang?" tanya Arion. Liona mendelik. "Apa lagi? pikiranmu saja yang mesum."
"Berisik!" Liona mencoba berdiri. Arion terdorong kebelakang ketika gadis itu tiba-tiba bangun dari duduknya.
"Akhhh!!" Liona merasa sakit ketika mencoba melangkah membuat tubuhnya oleh hingga menimpa Arion yang tidak siap dibawah sana.
"Shh.." Arion menahan kepala Liona agar tidak terbentur dengan kepalanya.
Tatapan mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Tangan Liona berada di kedua sisi kepala Arion membuat posisi mereka terlihat begitu 'intim'.
Liona mengerjap, tatapannya beralih turun menatap bibir Arion yang tampak lebam. Itu pasti bekas pukulan. Pikirnya.
Matanya membulat sempurna ketika bibir yang ia pandangi itu bergerak membentuk seringai.
"Betah memandanginya, nona?" tanya Arion.
"Gue nggak bisa bangun," kata Liona terpaku.
"Huh? What?" tanya Arion.
"Gue nggak tau..." suaranya bergetar. Liona beralih menatap netra tajam milik Arion yang terus menatapnya. "Badan gue remuk..."
"Maksudnya gimana?" tanya Arion bingung. Tangannya meremas kedua bahu Liona.
"Arion, bantuin gue. Gue nggak bisa gerak, sakit semua!"
#Tbc
Follow ig: @wiwirmdni21Pliss komen dan juga vote, hargai penulis 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA
Fantasy❝Diam menjadi misterius, bergerak menjadi serius.❞ -Liona Hazel Elnara Peringkat Mengesankan: #1 in mafia [18 Agustus 2024] #1 in fantasi [21 Agustus 2024] #1 in misteri [27 Agustus 2024] #1 in thriller [27 Agustus 2024] #1 in teka-teki [28 Agustus...