TSK-60

40.8K 2.3K 321
                                    

Vote dan komen yaa, Happy Reading!

Sekitar jam 1 malam, semua orang masih terjaga karena keadaan organisasi yang merosot pesat setelah pembantaian yang dilakukan Liona siang tadi. Ruangan itu dipenuhi ketegangan, bisikan-bisikan cemas terdengar di antara para anggota yang mencoba memahami situasi. Beberapa dari mereka memeriksa persediaan senjata, sementara yang lain sibuk memperkuat barikade dan merencanakan strategi pertahanan.

Di sudut ruangan, Marcus menatap peta yang berantakan, mencari celah untuk menyelamatkan situasi. "Kita kehilangan terlalu banyak, dan sekarang, mereka mulai meragukan kemampuan kita."

Gibran duduk diam di kursi besar, matanya yang tajam berkeliling, menganalisis setiap gerakan anak buahnya. "Biarkan mereka meragukan kita. Rasa takut adalah senjata paling kuat. Tapi kita tidak akan jatuh."

Aiden melangkah mendekat, menyeringai tipis. "Apa yang akan kita lakukan jika dia menyerang lagi? Liona sudah menunjukkan bahwa dia tidak akan mundur."

Gibran berdiri, mengambil cerutunya yang sudah hampir habis dan menatap keluar jendela yang gelap. "Jika dia datang lagi, kita akan siap. Kali ini, dia akan menyadari bahwa menyerangku berarti menandatangani vonis kematinya sendiri."

Keheningan kembali mengambil alih, hingga suara keras membuat atensi mereka semua teralihkan.

BOOOM!!

Ledakan tiba-tiba mengguncang seluruh gedung. Suara itu begitu dahsyat, seperti gemuruh badai yang menghantam dari luar, membuat dinding-dinding bergetar hebat. Gibran, Marcus, Aiden, dan yang lainnya tersentak kaget. Kilatan api dari ledakan terlihat samar melalui jendela besar, sementara debu dan puing-puing jatuh dari langit-langit.

"Apa itu?!" Aiden melompat dari tempatnya, memegang senapan otomatis yang tergantung di punggungnya. Para anggota lain juga langsung bereaksi, mengambil senjata mereka dan berlarian ke arah pintu keluar.

Marcus dengan cepat menginstruksikan anak buahnya, "Periksa perimeter! Siapkan formasi! Kita harus tahu apa yang terjadi di luar!"

Gibran hanya berdiri tenang, matanya menyipit, seperti sedang menilai situasi. "Tetap di tempatmu, Marcus," katanya dengan tenang. "Ini bukan ledakan biasa. Ini adalah permainan lain dari Liona."

Marcus berhenti sejenak, namun tetap memegang pistolnya erat-erat. "Jadi, kau pikir dia sudah di sini?"

"Aku tahu dia ada di sini." Gibran mendesah berat. "Dan dia akan datang dengan cara yang tak terduga."

Di luar gedung, para anggota yang tersisa berlarian, berusaha mengamankan tempat itu setelah ledakan mengguncang mereka. Beberapa dari mereka mulai menyisir area sekitar, sementara yang lain berdiri waspada di dekat pintu masuk utama. Namun, beberapa yang lebih cerdas dan tidak terkecoh oleh ledakan tetap berada di dalam, menunggu apa yang mungkin terjadi.

Beberapa menit berlalu dalam ketegangan yang tebal. Ruangan di dalam markas kembali sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang berat. Suara langkah kaki beraturan di atas ubin mulai terdengar, semakin mendekat, semakin jelas. Setiap langkah bergema dalam lorong, seakan-akan sengaja memberikan peringatan pada mereka yang menunggu di ruangan itu.

Aiden memegang senjatanya lebih erat, pandangannya beralih ke arah pintu yang tertutup. Marcus menahan napas, jari-jarinya siap di pelatuk pistol. Suara langkah itu semakin mendekat, memecah keheningan yang mencekam.

Dan kemudian, pintu perlahan terbuka.

Liona berdiri di sana, di ambang pintu, dengan wajah dingin yang tak terbaca. Rambut hitamnya sedikit berantakan, masih ada bekas cipratan darah di wajahnya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Gibran, seakan tak ada orang lain di ruangan itu.

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang