TSK-34

73.5K 3.5K 151
                                    

Vote dulu doongggg

Kilas balik 12 tahun lalu.

"Ayah, bunda kok gak pernah jenguk Lio?" tanya Liona kecil saat usinya masih 5 tahun. Anak itu terbaring lemah di brankar rumah sakit dengan wajah pucat pasi.

Hendra melirik putrinya itu. "Kamu tidak pernah ada dipikirannya, berhenti berharap."

Liona tersentak mendengar nada kasar itu. Wajahnya murung. "Lio rindu sama bunda, Ayah..."

"Kamu sebut perempuan itu lagi, ayah tinggalkan kamu disini sendiri! Bisa diam tidak, kamu sudah mengambil waktu Ayah buat ada disini, mengerti hah?!"

Mata Liona berair, nafasnya sesak. "Maaf ayah..."

Flashback off

Liona membuka matanya, dia bangun tengah malam karna ingatan masa kecil itu tiba-tiba muncul. Tangannya mengepal kuat. Kepalanya tiba-tiba pusing.

Saat ini dia sudah berada di rusun setelah kembali dari rumah besar.

Liona menatap atap dengan mata kosong. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun bayangan masa lalu terus menghantuinya.

Dinding rusun yang sempit dan dingin seolah semakin mendekapnya, membuat ruang itu terasa lebih sempit dari biasanya. Dia duduk di tepi ranjang, lututnya ditarik ke dada sementara kedua tangannya melingkari kakinya.

Kenapa harus ingatan itu yang muncul? pikirnya. Ingatan tentang betapa sedikitnya kasih sayang yang diterima Liona dari ayahnya, tentang bagaimana dia selalu dianggap sebagai beban.

Pikirannya melayang ke hari sebelumnya, saat dia menemukan map 'Program Alitzir.' Kemarahan menggelegak dalam dadanya. Apa mungkin semua ini ada hubungannya dengan program itu? pikirnya lagi. Perlahan, Liona berdiri dari ranjangnya.

Dia berjalan menuju jendela kecil di rusunnya, membuka tirai dan memandang keluar. Langit malam masih gelap, bintang-bintang bersinar redup, seperti sekelompok teman yang berusaha memberi tahu dia bahwa dia tidak sendirian.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Liona meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Tidak ada nama yang tertera di layar membuatnya ragu sejenak sebelum akhirnya dia mengangkat telepon itu.

"Ya?" jawab Liona dengan suara tenang.

"Liona, ini kakek." suara di seberang terdengar. Suara Gibran Frederick. "Kamu di mana sekarang?"

"Di rusun," jawab Liona singkat, matanya masih terpaku pada langit malam di luar jendela. "Kenapa?"

"Saya khawatir," kata Gibran, jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, "Kakek tahu mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi... Saya ingin kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kakek klarifikasi."

Liona menganggukan kepalanya. Dia tersenyum remeh, permainan ini masih dimulai. "Lokasi?"

"Di rumah kakek saja, kakek tunggu kedatanganmu."

"Oke," jawab Liona akhirnya, suaranya datar. "Besok, sepulang sekolah."

"Hati-hati di jalan."

"Ya."

***

Pagi hari di sekolah, Liona kini sudah berada di kelasnya menunggu guru yang akan mengajar. Namun beberapa teman sekelasnya seperti tengah membicarakan sesuatu.

"Selina udah sadar!"

"Hah yang bener?"

"Iya, malam tadi katanya dia sadar."

TRANSMIGRASI SANG KETUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang